Bung, apa kabar? Saya tahu kalian pasti sedang sibuk sekarang. Jadi, saya dapat pastikan bahwa kalian tidak akan membaca artikel ini. Akhir-akhir ini, nama kalian sering muncul di berbagai media. Kalian perlu sadar Bung bahwa ketika saya membuka jejaring sosial saya, kalian telah menyebabkan polusi visual di layar monitar saya. Jujur, saya bingung dengan berbagai artikel yang berhubungan dengan kalian di media sosial, bung. Mengapa? Jumlahnya banyak Bung. Tetapi, sebenarnya jumlah itu juga harus berkaitan dengan substansi tulisannya Bung.
Saya rasa Bung-Bung sudah tahu bahwa isi artikel-artikel yang ditulis, dapat dipastikan selalu mengarah ke salah satu dari kalian Bung. Kalian seperti Rock Star sekarang Bung. Menurut tukang pencari google, Bung Joko disebut sebanyak 22 juta kali. Sedangkan, Bung Bowo berada di belakang dengan 18 juta kali. Bahkan, kata ‘Soekarno’ di mesin pencari ciptaan Negeri Paman Sam itu hanya disebut sebanyak 6,6 juta kali. Lihat betapa fenomenalnya kalian berdua Bung. Luar biasa Bung! [caption id="" align="aligncenter" width="323" caption="Prabowo & Jokowi (Sumber: Tribunnews.com)"][/caption]
Begitulah Bung retorika dalam dunia maya. Sorak-sorai dalam dunia komputerisasi lebih besar daripada yang nyatanya. Bung-Bung sekalian patut bersyukur telah berkompetisi di saat produk-produk media sosial telah merambat ke seluk-beluk kehidupan. Kita bisa tinggalkan metode berkampanye di pohon-pohon pinggir jalan atau metode stiker di motor ataupun alat transportasi lainnya. Kita bisa memasuki era yang menuntut inovasi dan pemikiran kreatif dalam penyampaian ketokohan dari Bung-Bung sekalian.
Cukup sudah intermezzo-nya, Bung. Saya memulai pembicaraan yang tidak penting ini dengan menyebut bahwa siapa pun pemimpinnya pasti rakyat juga tidak akan puas. Setuju ngak Bung ? Itu terserah Bung Joko dan Bung Bowo saja. Mengapa saya menyebut begitu? Alasan sederhananya adalah kita bisa menganalogikan dengan adagium klasik yang menyebutkan bahwa manusia tidak akan pernah puas. Tetapi, di samping ketidakpuasan tersebut, terdapat harapan untuk sesuatu yang lebih baik. Bung, bolehkah saya minta satu kepuasan dari sekian banyak kepuasan ketika nantinya Bung-Bung sekalian terpilih? Ini bukan kepuasan berahi ataupun jasmani Bung, saya cuma minta kepuasan rohani.
Bung, apa yang saya maksudkan dengan kepuasan rohani adalah sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan dan iman. Negeri ini telah mengakui 6 agama, tetapi itu hanya sebatas undang-undang dan teks belaka. Kenyataannya, yang minoritas masih ditindas dengan mayoritas yang beringas. Bung, harus tahu bahwa dalam laporan The Wahid Institute pada tahun 2013, ada sekitar 245 kasus yang terkait dengan masalah kepuasan rohani. Bisa dibayangkan hampir setiap hari kelompok yang minoritas menjadi korban akibat kelompok yang merasa paling benar. Ini miris Bung!
Dalai Lama XIV (Pemuka Agama Buddha) pernah mengatakan bahwa tujuan kita memiliki sebuah kepercayaan atau agama yaitu untuk mengendalikan diri kita sendiri menjadi lebih baik, bukan mengkritisi orang lain. Saya merasa miris bahwa negeri ini masih memberikan celah untuk tindakan intoleransi. Semakin tidak diberikan ketegasan, maka celah itu akan semakin lebar. Dan, yang mayoritas akan semakin memosisikan dirinya sebagai yang paling benar. Bung harus sadar bahwa negeri ini masih naif. Untuk apa kita meneriakkan Pancasila dan menyebutkan sesuatu kehidupan yang beragam, ketika yang beragam dipaksa untuk seragam. Bung harus tahu bahwa seragam dengan beragam itu berbeda. Seragam berarti membuat suatu kelompok menjadi sama dengan satu bentuk atau tatanan. Sedangkan, beragam memiliki artian bahwa suatu kelompok memiliki banyak ragam (bermacam-macam).
Bung, keimanan atau kepercayaan itu bersifat subjektif. Sama seperti kita memilih sebuah baju. Masing-masing individu akan memiliki pandangan yang berbeda untuk setiap baju. Ada yang mengatakan baju A bagus dan baju B jelek, tetapi yang memutuskan baju A bagus adalah diri kita sendiri. Bukan orang lain. Pandangan seseorang terhadap Agama A, B, C ,D atau E tentu berbeda-beda, tetapi yang berhak memutuskan adalah dirinya sendiri bukan paksaan dari orang lain. Tidak ada yang berhak menentukan agama A, B, C, D, ataupun E adalah agama yang sesat. Tidak ada. Bung, harus bertindak tegas kepada mereka yang berani mengatakan agama A, B, C, D, atau E itu sesat. Tetapi, saya ragu Bung-Bung sekalian dapat memberikan hukuman yang tegas.
Masih segar di ingatan saya mengenai tragedi penyerangan terhadap Ahmadiyah pada 16 Februari 2011 di Desa Cigeli, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Padagelang, Banten. Akibat penyerangan itu Bung, 6 orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka. Apakah Bung sudah melihat video brutal dari sekelompok orang memakai peci memukul korban yang sudah tewas dengan pentungan kayu berkali-kali dan meneriakkan Tuhannya? Ketika pertama kali saya melihat video itu, reaksi saya adalah hanya binatang yang dapat melakukan hal itu.
Lantas apa kabar dengan penyerang ataupun pelaku tersebut? Mereka hanya dihukum vonis ringan. Bung mau tahu berapa hukumannya? Hanya 3-6 bulan saja untuk kasus pembunuhan tersebut yang dilakukan oleh para pelaku biadab. Negeri ini masih belum aman bagi yang minoritas Bung. Yang minoritas merasa dihantui oleh bayang-bayang mayoritas yang merasa paling benar. Saya rasa, hal-hal sentimen seperti ini telah dijadikan komoditas bagi mayoritas untuk menjalankan cara pragmatis demi keegoisan keyakinannya. Lantas, apa kabar dengan umat Syiah yang diusir dari kampung halamannya sendiri di Sampang dan sampai sekarang belum dapat kembali ke tanah kelahiran mereka?
Sekali lagi, saya skeptis. Mengapa? Kita bisa lihat dalam pemilu legislatif kemarin. Tidak ada satu pun para caleg yang berkunjung ke umat Syiah yang sekarang menjadi pengungsi di rumah susun Puspa Argo. Para caleg bahkan memilih untuk tidak ikut campur dalam urusan sentimen seperti itu. Saya ragu Bung, apakah Bung berani mengunjungi mereka dan memperjuangkan hal-hal kebebasan beragama mereka? Mereka yang minoritas seakan hanya menjadi bagian yang tersisa dari yang disisakan. Saya tahu perolehan suara dari yang minortas hanya sekian persen dari jumlah pemilih sekarang. Tetapi, mereka juga berhak bersuara dan menyatakan sikap untuk menentukan masa depan mereka.
Ketika kekerasan demi kekerasan atas nama agama muncul di permukaan, kita patut bertanya Bung, apakah perbedaan itu telah menjadi hal-hal yang tabu bagi masyarakat sekarang? Hal ini diperparah oleh pernyataan mantan Menteri Agama kita pada tahun 2009 lalu, yaitu Bpk. Suryadharma Ali, yang menyebutkan untuk membubarkan Ahmadiyah yang telah mengacak-ngacak agama Islam. Bagaimana bisa seorang pemimpin kebijakan religius dan penjaga gerbang kebebasan beragama di Indonesia mengatakan hal seperti itu. Pantas saja, jika kemarin kita hanya menyaksikan kebrutalan sekelompok orang atas nama agama berbuat seenaknya terhadap kaum minoritas, tanpa penindakan yang jelas dan tegas. Mereka dibiarkan berkembang dan menjadi suatu postur kelompok yang paling benar.