Lihat ke Halaman Asli

Kondisi Atmosfir Riset Kita

Diperbarui: 17 Mei 2017   16:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kutipan dari Kompas online (ttp://edukasi.kompas.com/read/2017/04/17/15130001/jumlah.peneliti.indonesia.di.urutan.buncit.apa.tantangannya) terkesan mengulang berita yang sejak dulu itu itu saja bila diperhadapkan dengan kondisi riset Indonesia. Ya, riset Indonesia memang terpuruk, baik dari jumlah maupun kualitas. Apalagi bila diproporsi-kan dengan jumlah penduduk Indonesia, makin jauh sudah.

Benar, ketika banyak analis Indonesia mengatakan bahwa riset Indonesia tak lepas dari atmosfir periset itu sendiri. Lingkungan kehidupan periset Indonesia memaksa mereka untuk tak hanya mempriotitaskan pikiran pada riset, namun pada kegiatan lain yang sering mengakuisisi aktifitas riset periset. Misalkan, ketika di kampus (khusus periset yang juga sebagai dosen), selain mengajar atmosfir riset jarang terbentuk. Dosen malah lebih banyak membicarakan masalah politik, status pertemanan bahkan hal lain di luar riset dalam kerutinan mereka. Topik yang semestinya hanya dibicarakan padaa saat jeda semisal saat makan siang atau ngopi. Tambah lagi, ketika pulang di rumah, dosen akan dijejali kegiatan sosial kemasyarakatan dan keagamaan (terutama di Indonesia) selain pemenuhan kebutuhan rumah tangga yang mau tidak mau harus diadakan. Kekompleksan ini hanya bisa diatasi oleh satu dua orang dan tak umum. Kemampuan yang tak umum atau dibaca keunikan pribadi periset yang bisa mengatasi kompleksitas masalah di luar riset juga ada di negara maju. Bedanya adalah atmosfir riset  negara maju itu lebih kondusif. Kompleksitas di luar riset yang harus diatasi periset cenderung sedikit. Sehingga tak heran kalau periset di negara maju lebih banyak.

Tulisan ini bukan bermaksud bahwa periset Indonesia harus dikarantina agar bisa terhindar dari kegiatan sosial, keagamaan atau malah kebutuhan rumah tangga mereka, namun, lebih pada menciptakan atmosfir riset sehingga periset itu betah di kampus/lembaga riset dan membicarakan tentang riset. Bahkan tradisi ini bisa mereka bawa ke rumah, dan mereka sendiri yang mengubah kehidupan sosial dan keagamaan mereka. Atmosfir riset di lembaga penelitian atau di kampus harus dibuat se kondusif mungkin sehingga tak terhalang dana, pustaka, alat dan bahan riset serta kesejahteraan periset itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline