Lihat ke Halaman Asli

Four Leaf Clover

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam kesunyiannya ia terus memperlihatkan tatapan kosong mengarah langit biru. Siang ini hendak kelabu. Burung kecil tertawa akan langit runtuh. Hampir gelap dengan temaram lampu. Cynara berdiri tepat melihat keluar jendela. Rambut coklatnya terhempas oleh angin. tak lama setelah itu, ketenangannya buyar. Seseorang mengetuk pintunya. Lantas ia melihat ke arah pintu coklatnya.

“Ms. Agatha, saya Louis. Teman anda telah datang. Saya harap anda mau mengijinkan kami masuk.” Kata louis –pelayan pribadi Cynara. Cynara lantas memalingkan mukanya menghadap keluar jendela lagi dan berkata “Masuklah.”

Seraya suara gagang pintu terbuka Louis masuk ke dalam kamar yang di ikuti oleh Axel. Sudut mulut Cynara terlihat bergerak yang bermaksud tersenyum. Setelah Louis menutup pintu kayu tersebut, Axel dengan rambut pirangnya melangkah menuju Cynara yang ada di dekat jendela. Mereka berbincang.

“Hai, kemana kau kemarin? Tahukah kau semua orang mencarimu. Mereka khawatir.” Dengan tangan terbuka ia menyisir rambutnya dengan tangan.

“Tak perlu kau mengetahuinya.” Tatapan Cynara berpaling melihat kembali gumpalan kapas yang melayang-layang di langit biru.

Tarikan nafas Axel terdengar lembut. Ia membalikkan tubuh tegap yang di lapisi oleh baju putih dengan jaket coklatnya. Ia menunduk. “Jika terjadi sesuatu janganlah membawanya sendiri. Libatkan aku.”

“Ya.”

Axel melangkah pergi. Cynara yang mendengar dentuman kecil pintunya menutup. Ia mendesah kecil. Aku tak akan pernah mau melibatkan dirimu dalam hal ini. Cynara dengan muram dan geramnya ia langsung menyambar komputernya dan bermain game. Game yang selalu membuatnya tertawa, riang, terlepas dari semua beban, dan yang pasti membuat dirinya bebas seperti diangkasa.

Menyingsingnya sang fajar membuatnya lelah untuk terus memberikan cahaya. Hari semakin gelap, dan Cynara tetap bermain game hingga makanannya dingin dan tak tersentuh sedikitpun. Matanya sayup. Tubuhnya gemetar karena lapar. Setelah sejam kemudian tangannya menggapai sebatang roti dengan sup krim asparagus yang telah dingin dan pinggirnya mengeras. Ia bangkit dari kursinya. Ia segera melangkah maju menuju kamar mandi mengingat hari telah malam dan ia belum sedikitpun tersentuh oleh air. Desingan pancuran air yang keluar menimpa tubuh putihnya. Tanpa rasa beban ia membersihkan diri. Tak lama kemudian, ketika ia hendak tidur, dering handphone-nya membelah suasana sepi yang menyelimutinya. Ia menjawab

“Hallo.”

“Hallo. Cynara, apa kau sudah menyelesaikan semuanya?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline