Lihat ke Halaman Asli

Tidak Direkomendasikan bagi Pecinta Sepak Bola

Diperbarui: 31 Mei 2019   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku adalah penggemar sepakbola. Klub favoritku adalah AC Milan. Salah satu klub di Italia yang mempunyai prestasi mengkilap di masa lalu, baik di kancah domestik maupun di internasional. Hanya memang, sudah mungkin lebih dari satu dekade AC Milan tidak memiliki prestasi yang membanggakan.

Bagi penggemar sepakbola, terutama liga Italia, situasi tanpa prestasi itu menjadi bahan ejekan bagi penggemar klub lain, terutama yang saat ini lagi berprestasi terus, klub Juventus. Dan masa-masa sekarang adalah masa yang memang tidak mengenakkan bagiku sebagai penggemar AC Milan.

Ketika aku menulis artikel ini, klub Juventus baru saja kalah dalam di kompetisi Liga Champions, sebuah kompetisi sepakbola paling bergengsi di Eropa. AC Milan adalah klub bebuyutan Juventus. Tentu aku sangat bersorak-sorai mendengar berita tersebut. Bukan karena AC Milan lolos ke babak berikutnya di kompetisi tersebut. Bahkan, AC Milan tidak berhasil masuk kompetisi tersebut. Aku senang karena Juventus tidak berhasil untuk meraih impian mereka tahun ini.

Secara alamiah, ketika menjadi fans klub AC Milan, aku sangat bangga dengan AC Milan dan tentu merasa AC Milan adalah klub terbaik di dunia. Aku cenderung subyektif menilai kualitas permainan dan pemain-pemain sepakbola di klub AC Milan. Begitu juga ketika menilai klub lain yang jadi pesaing. 

Apalagi yang sedang berprestasi. Sejujurnya, jika melihat fakta dan mau melihat secara obyektif, seringkali memang kualitas tim AC Milan sekarang memang jauh di bawah kualitas Juventus sehingga wajar jika belum berprestasi lagi. 

Aku harus mengakui bahwa  kadang aku membela AC Milan dengan begitu besarnya sampai merendahkan tim lain (baca: mengejek) dengan alasan-alasan yang sebenarnya kalau dipikir-pikir dengan logika yang obyektif tidak logis dan sebenarnya dengan mudah aku sendiri harus mengakui itu tidak bisa jadi alasan yang dibanggakan atau digunakan sebagai dasar yang kuat.

OBYEKTIF SEMU

Soal hobi sudah menggambarkan subyektivitasku. Di bidang lain dalam kehidupanku, secara sadar atau tidak sadar, potensi kecenderungan untuk subyektif itu besar. Mulai dari hal sepele seperti memilih warna dan model baju, celana panjang hingga jaket. Lalu pilihan tempat tinggal, pekerjaan hingga pasangan hidup. Subyektivitasku dalam hal-hal tersebut mungkin tidak terlalu berpengaruh pada orang lain. Sebagian besar "konsekuensi" subyektivitasku dirasakan oleh diriku sendiri.

Namun, bagaimana dengan ketika memilih pasangan hidup, memilih Presiden atau bahkan memilih pindah agama?

Aku sudah banyak mendengar berita, pendapat, teori serta pengalaman orang lain dalam memilih hal-hal tersebut. Bervariasi dan tidak ada yang 100% sama. Namun, selalu ada standar obyektif yang disepakati oleh banyak orang atau secara umum diterima.

Aku tentu dengan idealismeku berusaha bersikap obyektif dalam memilih atau memandang setiap fenomena yang membutuhkan keputusan pilihan. Namun, secara sadar atau tidak sadar, latar belakang dan pengalaman pribadiku telah membentuk subyektivitas yang menyebabkan obyektivitasku seperti semu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline