Literasi media menjadi jaminan kebutuhan informasi dan gaya interaksi yang efektif dan efisien di era disrupsi. Kemampuan menginterpretasi, menganalisis, dan mengevaluasi informasi merupakan ruang lingkup pengetahuan literasi media. Pada gilirannya dapat membantu warga negara muda untuk melihat lebih kritis kebenaran informasi di media.
ERA disruspi atau era industri 4.0 menginisiasi lahirnya gaya interaksi baru yang lebih kreatif, inovatif, dan masif. Interaksi ini didukung oleh kemajuan informasi dan teknologi canggih. Setiap peristiwa yang terjadi di setiap belahan dunia dapat disaksikan secara bersama-sama oleh warga negara sejagat dalam detik yang sama di tempat yang berbeda-beda. MacLuhan (1962), menggambarkan bahwa dunia menjadi semakin sempit karena teknologi elektrik dan arus informasi yang sama derasnya ke setiap belahan dunia. Artinya, secara radikal arus teknologi informasi turut mengubah struktur kehidupan sosiologis.
Bentuk-bentuk interaksi, terutama cara-cara menyampaikan pesan, opini, kritik, dan evaluasi berubah secara radikal (Goldsmith, 2017; Ohoitimur, 2018). Kecepatan informasi dan teknologi mendekatkan kebudayaan-kebudayaan yang terasing dan saling berbaur. Dunia yang luas menjadi padat. Tercipta jaringan-jaringan sosial yang menjadi katalisator bagi perubahan sosial. Dalam konteks zaman itu, akhir abad ke-20 mulai berkembang "e-commerce" yang menyebabkan kegiatan-kegiatan komersial menjangkau seluruh belahan dunia.
Aspek positif teknologi informasi selain menciptakan "global village" muncul pula aspek negatif. Banyaknya kejahatan dengan menggunakan teknologi informasi tersebut. Perang kata-kata, ketidakadilan, dan kriminal sedang terjadi akhir-akhir ini. Artinya, muncul persoalan yang semakin kompleks. Namun, sebagian kalangan membaca perkembangan teknologi canggih ini sebagai kekacauan sosial yang dapat mengubah dunia industri barang dan jasa. Fenomena ini digambarkan oleh Christensen dan Fukuyama sebagai "disruption" dengan paham yang berbeda-beda.
Christensen (1997), memahami disrupsi sebagai peluang inovasi yang menguntungkan sementara Fukuyama (1999), beragumen bahwa disrupsi sebagai gangguan terhadap tata sosial. Namun, terdapat kesamaan pikiran kedua tokoh ini soal konteks zaman yang sama ketika teknologi informasi mulai mencapai kemajuan yang definitif dan dengan cepat mempengaruhi pola-pola relasi dan komunikasi (Ohoitimur, 2018: 145). Hasilnya, semakin meningkat pengguna internet atau media sosial di seluruh dunia. Interaksi dan penyebaran informasi dapat tersebar cepat melalui media. Fenomena ini tentu menghasilkan peluang sekaligus tantangan bagi seluruh warga. Penegasan ini berasalan karena muncul beberapa persoalan mendasar.
Kesatu, kepentingan politik telah diseludupkan melalui berita yang dipublikasikan ke media. Para pemain politik memaksimalkan keuntungan berita. Di sini, media lebih bertanggungjawab kepada pemilik kepentingan ketimbangan informasi yang sehat kepada warga. Terhadap persoalan itu, hasil kajian Prasetiyo (2016: 339), bahwa kepentingan politik telah mencemarkan peran media sehingga beragam berita menguntungkan pihak tertentu dan mendapat porsi besar dalam pemberitaan. Idealitas media yang bertugas memproduksi kebenaran informasi berbanding terbalik dengan realitas akhir-akhir ini. Media yang sepatutnya digunakan sebagai wahana untuk menginformasikan fakta yang sahih kepada warga, malah dieksploitasi untuk mewujudkan kepentingan politik kelompok tertentu.
Kedua, kemunculan hoaks di media yang tidak terbendung dapat meresahkan banyak warga. Tanpa disadari hoaks mengaktifkan kepentingan kelompok tertentu, namun menonaktifkan akal sehat warga. Data menujukan setiap tahun hoaks mengalami peningkatan. Mengacu pada data Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) pada tahun 2016 hoaks mencapai angka 2700 sementara tahun 2017 terdapat sekitar 800.000 situs yang terindikasi menyebarkan informasi hoaks. Sebuah survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika (Mastel) menunjukan bahwa sepanjang bulan Pebruari tahun 2017 hoaks telah menjadi persoalan nasional yang berdampak negatif pada keutuhan bangsa, ketidakstabilan konstelasi politik, menganggu keamanan dan kenyamanan warga. Kondisi ini sangat berpotensi menghambat kemajuan pembangunan negara.
Pada tahun 2018, riset DailySocial dan Jakpat Mobile Survey Platform terhadap pengguna smartphone di seluruh Indonesia terkait penyebaran hoaks menemukan, informasi ini paling banyak tersebar pada media sosial yaitu Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Responden yang tidak memiliki kecakapan untuk mendeteksi informasi hoaks mencapai angka (44,19%), sementara responden (51,03%) bersikap pasif dan tidak percaya saat menerima informasi hoaks. Mengacu pada statistik maka hoaks telah menimbulkan "chaos". Pilihan etik oknum jurnalis dalam memproduksi berita di media diatur secara teknis demi mewujudkan kepentingan tertentu. Perilaku yang benar secara moral dari jurnalis diabaikan dengan tujuan mengambil keuntungan dari penyebaran hoaks. Terhadap persoalan ini, tanggung jawab warga negara dituntut aktif mengkritisi pihak media. Sebab, ketidakhadiran kontribusi pikir setiap warga negara terhadap agenda media akan menghasilkan "catastrophe" (Rakhmawati, 2015: 126).
Ketiga, reputasi media di Indonesia mengalami penurunan. Kondisi ini ditandai dengan menurunnya tingkat percayaan warga terhadap media. Sebuah survei yang dilakukan oleh Edelman Trust Barometer mengonfirmasi hal dimaksud. Pada tahun 2015 ukuran percayaan warga terhadap media berada pada angka 63 persen sementara tahun 2016 sebanyak 68 persen. Penurunan kepercayaan warga terhadap media sebagai respon terhadap maraknya informasi hoaks, dijadikan sebagai alat politik, dan penerbitan informasi yang kurang berkualitas. Keempat, hoaks diproduksi untuk menambah penghasilan oknum jurnalis. Persaingan antar berita di media telah menarik kepentingan pasar "market oriented". Pihak media memainkan peran untuk mengutamakan mereka yang membiayai peliputan berita ketimbangan kebutuhan informasi yang sehat bagi warga. Data yang kutip dari Tirto.id bahwa selama tahun 2016 media yang sukses memproduksi berita hoaks menghasilkan keuntungan sebanyak 25 juta rupiah setiap bulan. Temuan Sen dan Hill (2001: 45), dalam sebuah penelitian bahwa, peran media di Indonesia telah beralih dari merefleksikan realitas menjadi merepresentasikan realitas. Karena itu, media dapat dijadikan sebagai alat untuk mewujudkan "market oriented".
Kelima, kondisi darurat literasi sedang dialami oleh sebagian besar warga negara muda. Tanggung jawab pendidikan yang belum maksimal dalam meningkatkan pengetahuan literasi media pada setiap jenjang adalah salah satu indikator penyebab kondisi dimaksud. Subiakto, (2005: 4,9) menjelaskannya dalam suatu konsep "tidak ada upaya untuk meningatkan literasi media sama dengan membiarkan kejahatan dan pembodohan terus berlangsung di depan mata". Lebih dari itu, Prasetiyo (2016: 340) menekankan dukungan yang optimal dari sektor pendidikan terhadap berbagai akses informasi benar akan menghasilkan nilai SDM yang unggul bagi warga negara muda. Sebaliknya, bila mereka belajar dari sumber media yang keliru dan menyerap informasi palsu, maka tentu potensi besar mereka menjadi sia-sia. Kekacauan pikiran yang tidak dapat dipulihkan (irreversible dagame) bisa menimpa mereka. Karena itu, sejak tahun 2007 The Education Testing Service (ETS) telah mengambil langkah untuk mempromosikan literasi media yang terdiri dari kecakapan mengakses informasi, mengorganisasi, menilai kualitas, relevansi, dan manfaatnya.