SEMENJAK kelahiran demokrasi di Athena (Yunani) hingga praktek demokrasi duniawi dewasa ini memang tak semudah teorinya. Athena menjadi contoh nyata, Fuady (2010) mencatat "meskipun prinsip demokrasi yang diletakan oleh Solon di Athena sudah cukup maju, bahkan sangat maju menurut ukuran zamannya, namun praktik pemerintahan di Athena tidak serta merta berubah menjadi benar-benar demokratis".
Bila kita sorot balik (flashback) jauh ke belakang, sejarah mencatat bahwa Socrates dihukum mati oleh pemerintahan yang waktu itu memproklamirkan diri sebagai pemerintahan demokratis.
Socrates dituduh sebagai "provokator" yang meracuni generasi muda dengan pikiran-pikiran yang dianggap "menyeleneh" atau mengganggu stabilitas pemerintahan.
Karena itu, murid setia Socrates, Plato awalnya tak begitu suka dengan demokrasi, bukan hanya karena gurunya dihukum mati oleh pemerintah yang mengaku demokratis, tetapi juga dengan demokrasi "orang-orang jahat seperti gerombolan dan para begal demokrasi turut serta mengurus pemerintahan".
Meskipun akhirnya Plato juga menyetujui demokrasi dengan berbagai catatan. Fuady (2010) menyimpulkan "demokrasi adalah pilihan satu-satunya yang terbaik bagi kehidupan dan kelangsungan suatu bangsa dan negara di dunia ini". Hampir-hampir tak ada alternatif lain yang mampu bertahan seperti konsepsi demokrasi.
Dalam renungan reflektif berjudul "Demokrasi Kita" Mohammad Hatta bernubuat bahwa demokrasi tak bisa dilenyapkan dari denyut kehidupan bangsa Indonesia.
Dalam pandangannya "demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan.
Berlainan daripada beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat berakar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.
Namun perlu diingat apa yang dikatakan Strachey (1965) bahwa demokrasi bukanlah sebagai obat bagi segala penyakit sosial. Dengan kata lain, sikap ini bukan berarti menolak demokrasi sebagai sebuah sistem politik, melainkan hanya ingin menegaskan tentang sistem demokrasi bukanlah satu-satunya obat bagi seluruh penyakit sosial.
Karena sejatinya demokrasi berbicara menyangkut siapa yang menjalankan pemerintahan dan aspirasi rakyat yang seharusnya menjadi acuan pokok pemerintah dalam bertindak, sehingga tercipta pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dengan begitu, demokrasi menjadi cita-cita bagi sebagian besar umat manusia bukan satu-satunya sebagai obat untuk segala penyakit manusia.
Lebih dari itu, saya bersetuju dengan konsep berpikir Profesor Cecep Darmawan dalam tulisannya yang berjudul "Demokrasi Dalam Persimpangan Makna" bahwa demokrasi bukanlah milik penguasa, bukan pula milik kelompok ideologis tertentu, melainkan demokrasi harus menjadi ruh bagi kehidupan segenap warga di sebuah negara.