Saudara-saudari sebangsa-setanah air yang saya kasihi, Pancasila merupakan karya besar bangsa Indonesia di tengah-tengah pandangan filsafat dan ideologi besar duniawi dewasa ini, bahkan rumusan Pancasila yang telah disepakati oleh para fouding fathers, secara objektif dikagumi oleh seorang ahli tentang Indonesia, dari Cornell University USA, George Mc Turner Kahin dan Filsuf Besar Bertrand Russell.
Namun, pasang surut perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam kehidupan membangsa dan menegara, memberikan pengalaman positif tentang arti penting mengamalkan ajaran luhur Pancasila demi mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur (material dan spiritual).
Sayangnya, mimpi indah segenap kewargaan seperti yang disebutkan di atas lekas menjelma menjadi mimpi buruk: tertindas, terpecah-belah, terperbudak, timpang, dan miskin. Penegasan ini berasalan karena, Pancasila sebagai dasar falsafah negara (Philosophische Grondslag) yang kaya akan kearifan suku bangsa, agama, dan nilai-nilai kemanusiaan sudah tak lagi diamalkan dengan setia oleh segenap kewargaan.
Sebut saja, aksi teroris yang menerbitkan darah dan air mata (masih segar dalam ingatan) beberapa waktu lalu memberi bukti nyata pada kita bahwa begitu krisis pengamalan ajaran luhur Pancasila. Bagaimana mungkin sampai hati warga Indonesia menghabisi saudara sebangsanya sendiri dengan melalukan bom bunuh diri. Lantas, dimanakah nilai kemanusiaan maupun persatuan yang sudah terkonsep rapi dalam Pancasila melalui rangkaian panjang fase "pembibitan", fase "perumusan", dan fase "pengesahan" oleh para founding fathers bangsa Indonesia?
Untuk memenuhi jawaban dari pertanyaan di atas, dengan berburuk sangka, penulis mesti mengatakan bahwa dewasa ini bangsa kita sedang mengalami keterlenaan terhadap nilai-nilai luhurnya sendiri. Alhasil, pelbagai paham dari bangsa lain; pragmatisme, hedonisme, individualisme, dan (terutama) radikalisme mengakar kuat-dalam pikiran dan menjelma-menjadi perbuatan.
Tidaklah mengherankan, jikalau warga yang mengonsumsi paham radikalisme menepikan nilai kemanusiaan maupun persatuan-dalam Pancasila-sehingga nekat melakukan bom bunuh diri. Namun yang mengherankan dari kejadian itu; persatuan kembali dibincangkan diantara segenap kewargaan. Sadar atau tidak, seakan-akan warga kembali merajut "persatuan" ketika negara dalam keadaan terpuruk, tertindas, dan terpecah-belah. Konsep "kembali merekat setelah tersekat" berlaku disini. Inilah letak krisis pengamalan akan ajaran luhur Pancasila, sila ke-3.
Fakta buruk lainya seperti yang dilansir dari laman kompas.com, seorang gadis (VAM) berusia 14 tahun. Melalui akun Facebook yang bernama Khenyott Dhellown, memelesetkan butir Pancasila. VAM menyebutkan lima langkah gaya pacaran bebas dan ia menyebutkan bahwa itulah Pancasila. Belum lagi kasus artis yang berinisial ZG yang pernah melakukan pelecehan lambang Pancasila, Namun anehnya, justru dijadikan sebagai Duta Pancasila.
Memang benar kata Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul Mata Air Keteladanan, bahwa problem Pancasila adalah terlalu surplus ucapan dan minus tindakan, dan inilah yang menimbulkan keraguan banyak orang akan "kesaktian" nilai-nilai Pancasila dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Pelbagai fakta buruk yang telah diuraikan sebelumnya tak boleh dibiarkan berlarut-larut, sebuah usaha bersama merupakan suatu kemestian untuk mengamalkan ajaran luhur Pancasila dalam kehidupan membangsa dan menegara.
Menunggang pada Jiwa Gotong Royong
Demi mewanti-wanti tentang bahaya yang bisa ditimbulkan akibat krisis pengamalan ajaran luhur Pancasila, maka segenap kewargaan mesti menunggang pada jiwa gotong royong; pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagian semua.