Lorong menuju pulang adalah refleksi kecil sebagai upaya menemukan kembali diri dan bertanya, berapa kali kita patah dan sembuh dengan susah payah. Berapa kali kemenangan yang tak pernah kita rayakan.
Hai... apa kabar? semoga siapapun yang membaca ini anda dalam keadaan sehat hehehe... Tulisan ini terinspirasi dari cerita seorang teman pada suatu malam, mungkin akan terlihat rancu sebab ini adalah tulisan pertama saya setelah tiga tahun terakhir. Harapannya kita dapat sama-sama mengurai benang kusut di kepala lalu kembali menemukan kita yang sejati.
Pernahkah kita bertanya berapa kali menang dalam hal-hal kecil? Semisal mendapat nilai ujian yang sempurna, rangking di kelas atau sesederhana lulus tepat waktu. Banyak kemenangan yang tak terhitung jumlahnya, namun apakah kita sudah berterimkasih pada diri sendiri? Begitupun patah-patah yang berhasil sembuh, sudahkah kembali mencintai diri sendiri?
Beberapa pertanyaan diatas menjadi tamparan telak sebab kita terus berlari untuk mengejar lebih banyak kemenangan atau bahkan lari dari beberapa gagal, hingga suatu hari kita kehilangan jati diri terjun bebas dalam pertempuran-pertempuran yang entah untuk siapa.
Lalu bagaimana pulang? Temukanlah dia (diri sendiri) yang sudah kita tinggalkan di belakang. Dia (diri sendiri) yang kemarin menemani mu yang tahu segalanya tentang kau. Berdirilah tegak untuk diri mu sendiri, sebab hanya kita satu-satunya orang yang mengerti untuk apa dan siapa kita masih ada. Tidak seorangpun mampu secara utuh menyelami isi kepala kita bahkan pasangan yang padanya kita jadikan rumah, sebab sebagaiamana pohon akan tumbang ke arah miringnya jangan pernah menaruh harapan mu pada siapapun.
Pulanglah, kita bisa mulai dengan sedikit jeda dan memperlambat tempo agar tidak tenggelam arus kehidupan hingga lupa siapa kita.
Terimakasih pengingatnya K**e walau kita bercerita dalam keadaan berdiri setidaknya saya tahu waktunya sudah tiba.
Mungkin anda yang membaca ini akan cukup kecewa membaca hingga akhir tanpa mendapat apa-apa maaf untuk itu, harap dimaklumi proses yang hilang selama tiga tahun tentunya muncul dengan cacat di sana-sini dan butuh waktu untuk kembali belajar lagi.
Sampai Jumpa.
G. Maulaku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H