Di tengah desa, berdiri sebuah rumah tua yang hampir tidak pernah dikunjungi. Rumah itu dikenal sebagai rumah keluarga Caelum, tetapi kini hanya dihuni oleh seorang gadis muda bernama Amara. Amara adalah gadis yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu, tetapi ia juga penyendiri, lebih suka menghabiskan waktunya di dalam rumah besar yang diwarisinya dari orang tuanya, yang telah lama meninggal dunia. Rumah itu memiliki perpustakaan besar yang penuh dengan buku-buku kuno, dan di salah satu sudut ruangan, terdapat sebuah cermin besar dengan bingkai yang diukir dengan rumit, tampak seperti peninggalan dari zaman yang terlupakan.
Langit berwarna tembaga di atas desa Eldrith, sebuah desa kecil yang terletak di lembah gunung dengan hutan lebat mengelilinginya. Desa ini begitu tenang, hampir terasa seperti terputus dari dunia luar. Warga desa telah lama terbiasa dengan rutinitas sehari-hari yang damai, dengan ladang-ladang yang subur, sungai jernih yang mengalir deras, dan kabut tipis yang selalu menyelimuti desa saat pagi tiba. Namun, malam ini berbeda. Angin yang berhembus membawa aroma asing, seolah-olah ada sesuatu yang akan datang, sesuatu yang tidak biasa.
Amara selalu merasa ada sesuatu yang aneh dengan cermin itu, tetapi ia tidak pernah terlalu memikirkannya. Baginya, cermin itu hanyalah benda tua yang mungkin memiliki nilai sejarah, namun tidak lebih. Hingga suatu malam, sesuatu yang tidak biasa terjadi.
Malam itu, angin berhembus lebih kencang dari biasanya, membuat jendela di rumah Amara berderik keras. Amara, yang sedang membaca buku di perpustakaan, merasakan hawa dingin yang tiba-tiba merambat ke seluruh ruangan. Ia menoleh ke arah cermin, dan matanya tertuju pada pantulan dirinya sendiri. Tapi ada yang salah. Bayangan di cermin itu tidak mengikuti gerakannya. Bayangan itu, meskipun tampak seperti dirinya, memiliki ekspresi yang berbeda, ekspresi yang menunjukkan ketakutan.
Pikiran Amara dipenuhi oleh rasa penasaran yang tak tertahankan. Ia berdiri dan berjalan mendekati cermin itu. Setiap langkah yang diambilnya seolah terasa lebih berat, namun dorongan untuk mengetahui apa yang terjadi lebih kuat dari rasa takutnya. Amara menyentuh permukaan cermin yang dingin, dan pada saat itu, dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Cermin itu mulai berkilauan, dan sebelum Amara sempat menarik tangannya, ia tersedot ke dalam cermin tersebut.
Amara jatuh dalam kegelapan yang dalam, tubuhnya melayang tanpa arah. Ia mencoba berteriak, tetapi suaranya tertelan oleh kekosongan. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Amara akhirnya melihat cahaya di kejauhan. Cahaya itu semakin terang, dan perlahan-lahan, kegelapan di sekelilingnya menghilang, digantikan oleh pemandangan yang luar biasa indah.
Amara mendarat dengan lembut di tanah yang dipenuhi rumput biru yang berkilauan di bawah sinar bintang-bintang. Ia memandang sekeliling, terkejut melihat dunia yang sama sekali berbeda dari apa yang pernah ia ketahui. Langit di atasnya berwarna ungu, dan bintang-bintang bersinar terang, jauh lebih banyak dan lebih besar dari yang pernah ia lihat di dunia nyata. Pohon-pohon di sekitarnya menjulang tinggi dengan daun-daun berwarna emas yang bersinar lembut. Di kejauhan, ia bisa melihat sebuah istana besar yang memancarkan cahaya seperti matahari.
Namun, sebelum ia sempat mengagumi keindahan dunia baru ini lebih lama, sebuah suara kecil memanggil namanya. Amara menoleh dan melihat makhluk kecil dengan sayap transparan terbang mendekatinya. Makhluk itu adalah peri kecil bernama Lira. Wajahnya cantik, dengan mata besar yang bersinar cerah dan senyum yang menenangkan.
"Selamat datang di dunia cermin, Amara," kata Lira dengan suara yang lembut namun penuh dengan antusiasme.
Amara mengerjapkan matanya, masih bingung dan terkejut. "Di mana aku? Apa ini dunia cermin?"