Membicarakan mengenai tambang atau pertambangan memang bagaikan buah simalakama. Sesuai UUD 1945 pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, semua Sumber Daya Alam boleh ditambang (diambil) asal demi kemakmuran rakyat. Sayangnya pengelolaan dan penambangan berbagai SDA bukan cuma dikuasai pemerintah, namun sudah merambah pada perusahaan swasta nasional bahkan asing yang hanya mengeruk keuntungan semata. Seperti tambang emas hitam yang banyak terdapat di pulau Kalimantan misalnya.
[caption id="attachment_287830" align="aligncenter" width="448" caption="Iring-iringan emas hitam (dok. pribadi)"][/caption]
Pada dasarnya semua perusahaan (termasuk perusahaan tambang) harus memperhatikan sistem kelola sosial dan lingkungan dalam menjalankan operasionalnya. Namun seperti menjadi rahasia umum, jika Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan hal yang paling banyak diperbincangkan saat ini. Jika sudah melunasi Community Development (CD), perusahaan merasa telah menyelesaikan semua urusan dengan masyarakat. Padahal sesungguhnya, CSR merupakan bagian kontribusi perusahaan yang establised dan dikonsepkan dalam sebuah model nyata serta dilakukan secara berkesinambungan untuk kemajuan masyarakat (terutama yang terkena dampak langsung dari seluruh aspek operasional perusahaan dalam jangka panjang). Jadi CSR bukan semata-mata sumbangan.
Lantas bagaimana dengan persoalan lingkungan?
Persoalan lingkungan juga merupakan kewajiban dari perusahaan. Namun sayang, persoalan lingkungan ini justru menjadi nomor sekian yang diperhatikan. Kita semua pasti tahu jika pasca tambang nanti, perusahaan akan meninggalkan lobang abadi yang kemudian akan menjadi kolam-kolam air dengan kedalaman puluhan bahkan ratusan meter yang acap kali menelan korban jiwa (khususnya anak-anak) karena lokasinya tak jauh dari pemukiman penduduk. Padahal sudah seharusnya perusahaan melakukan reklamasi, revegetasi (penanaman kembali areal bekas tambang) serta mengembalikan fungsi awal sebelum lahan tersebut dibuka dan "dirampok".
Pencemaran lingkungan akibat operasioanl perusahaan tambang juga acapkali terjadi. Tentu kita masih ingat betul dengan tragedi "Teluk Buyat", dimana PT. Newmont Minahasa Raya dituduh telah mencemari Teluk Buyat dengan menempatkan sisa olahan limbah industri di Teluk Buyat. Atau bencana "Lumpur Lapindo" yang seolah menjadi monumen abadi dampak negatif dari kegiatan tambang.
[caption id="attachment_287832" align="aligncenter" width="448" caption="Kegiatan penambangan (dari fb Newmont Nusa Tenggara)"]
[/caption]
Namun tak bisa dipungkiri juga jika kegiatan penambangan juga memiliki dampak positif. Dari segi ekonomi, dengan adanya kegiatan operasional pertambangan akan menyerap banyak tenaga kerja sehingga bisa meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat (baik masyarakat lokal maupun pendatang). Kita tak bisa menutup mata jika sektor pertambangan saat ini seolah menjadi gula yang mengundang banyak semut-semut untuk mengerumuninya.
Apapun itu, kegiatan penambangan memang harus dilakukan secara berimbang. Kita boleh saja melukai kulit bumi dan mengambil isi didalamnya, namun kita juga harus menyembuhkan luka itu sesudahnya. Bumi, dan Hutan juga ciptaan Tuhan yang harus kita jaga dan kita lestarikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H