Jakarta sebagai Ibu Kota dan pusat pemerintahan bak "gula" yang selalu menarik bagi para pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Meskipun berasal dari suku, budaya, bahasa, agama, dan daerah yang berbeda, namun para urban tersebut mempunyai tujuan yang sama. Yakni agar taraf hidup menjadi lebih baik. Dari banyaknya kaum urban di Jakarta, tak sedikit yang bisa meraih sukses. Namun tak sedikit pula yang gagal bertahan hidup di Jakarta dan menganggap Ibu Kota itu lebih kejam daripada Ibu tiri.
[caption id="attachment_183285" align="aligncenter" width="301" caption="Monas sebagai Ikon Jakarta (dok. pribadi)"][/caption]
Awalnya Bandung merupakan kota impian saya untuk mengadu nasib (merantau). Sehingga saat ada tawaran dari lembaga pelatihan (tempat saya kursus usai SMEA) untuk sebuah pekerjaan di Jakarta secara halus saya tolak. Padahal dari 3 orang yang dicari, saya orang pertama yang mendapat tawaran tersebut. Namun entah mengapa, tidak lama setelah saya melewatkan tawaran tersebut, saya justru ikut tetangga saya merantau ke Jakarta (sekitar tahun 1996).
Dengan menumpang Kereta Api Matarmaja (kalau tidak salah) kelas ekonomi, saya berangkat dari Stasiun Gundih pukul 19.00 Wib menuju Jakarta. Namanya juga kelas ekonomi, jadi tidak heran kalau kami harus berbagi tempat duduk dengan penumpang lain. Jika saya duduk di bawah (lantai) maka teman saya duduk di atas (kursi) dan sebaliknya. Hingga senja ke-esok-an harinya sampailah kami di Jakarta.
Setelah menginap satu malam di kontrakan teman saya di Jelambar, keesokan harinya saya diantar ke rumah sepupu saya di Taman Kota. Dari sinilah perjuangan hidup saya di Jakarta dimulai. Saya yang notabene memiliki latar pendidikan SMEA, harus bekerja di sebuah bengkel di Sawah Besar. Awalnya memang terasa berat dan sulit, namun lambat laun toh bisa juga menyesuaikan ritme dan irama kerja bengkel tersebut. Namun karena lingkungannya yang saya anggap kurang bagus (banyak karyawan bengkel yang minum-minum usai jam kerja) akhirnya saya memutuskan untuk berhenti bekerja setelah saya diterima di sebuah supermarket di daerah Cempaka Putih.
Bekerja di supermarket memang mudah dan ringan dibandingkan pekerjaan saya di bengkel. Intinya kita harus kuat berdiri selama jam kerja. Namun karena jarak antara tempat tinggal dengan tempat kerja yang jauh membuat saya hanya bertahan beberapa bulan saja bekerja. Sampai akhirnya saya ikut bekerja di proyek ITC Cempaka Mas sebagai penunggu gudang material di sana. Entah sempat berapa bulan saya di sana sampai akhirnya saya berhenti bekerja. Masalahnya hampir sama, yakni lingkungan yang menurut saya kurang sehat. Bagaimana tidak, di sekitar proyek tersebut ternyata banyak sekali para PSK dan waria yang berkeliaran atau nongkrong di warteg-warteg di sana, sehingga saya sering risih saat hendak membeli makan.
Selama beberapa hari, saya menjadi pengangguran. Kerjaan setiap hari hanya membaca koran "lowongan pekerjaan". Hingga akhirnya salah satu tetangga (yang ternyata mandor bangunan) mengajak saya. Awalnya saya hanya diajak melihat-lihat proyek yang berada dalam pengawasannya. Hingga suatu hari dia bertanya pada saya.
"Masak begitu saja kamu tidak bisa? " (sambil menunjuk ke salah seorang anak buahnya yang sedang bekerja).
Dan dengan pasti saya jawab "bisa".
Sejak saat itulah saya bekerja sebagai kuli bangunan di Jakarta. Semua saya lakukan demi bertahan hidup di Jakarta, dan yang terpenting buat saya adalah "halal". Hampir satu tahun saya bekerja sebagai kuli bangunan. Berbagai suka dan duka saya lalui selama merantau di Jakarta. Namun dari semua itu, ada satu yang membuat saya tidak betah untuk tetap bertahan di Jakarta, yakni "macet". Entahlah, kenapa saya tidak bisa menikmati kemacetan di jalan raya.
Hingga akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke kampung. Saya mungkin merupakan salah satu urban yang gagal menaklukkan Jakarta. Ternyata benar lagu Melky Goeslaw "Sapa suruh datang Jakarta". Untuk bisa hidup dan bertahan di Jakarta ternyata dibutuhkan keuletan dan usaha yang benar-benar memeras keringat.