Lihat ke Halaman Asli

Genoveva Tersiandini

penggemar wisata dan kuliner

Menjelajah Takayama - Ainokura Gassho - Shirakawago - Takayama

Diperbarui: 16 Juli 2023   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungai yang membelah Takayama (foto milik pribadi)

Di tulisan sebelumnya saya sudah menulis tentang Takayama. Kali ini saya akan menambahkan lagi cerita saya tentang Takayama dan juga Desa Ainokura dan Shirakawago yang letaknya tidak jauh dari Takayama.

Terbiasa untuk bangun pagi, ketika liburan pun saya tetap bangun pagi. Setelah beristirahat pada malam hari, saya merasa energi saya terkumpul kembali saat bangun pagi. Teman saya pagi-pagi sudah meminjam sepeda yang disediakan hotel untuk melihat Takayama di pagi hari, sementara saya masih bermalas-malasan di kamar hotel. Sekitar satu jam berkeliling, dia kembali dan meberitahu saya bahwa di dekat restoran tempat kami makan siang ada pasar pagi. Setelah membersihkan diri saya pun segera pergi untuk melihat suasana Takayama di pagi hari. 

Saat itu sudah jam 7 pagi tetapi suasana kota itu masih sepi. Saya berjalan menuju jembatan yang disebutkan teman saya, namun jalan yang saya ambil berbeda dari yang dia sebutkan sehingga saya justru mendapatkan pemandangan di bagian lain kota tersebut. Tersesat? Mungkin, tapi tersesat yang menguntungkan. Pagi itu saya menyaksikan beberapa orang tua berdiri di tepi jalan mengantarkan anak-anak mereka yang masih kecil-kecil pergi ke sekolah. 

Mereka tidak mengantar sampai ke sekolah tetapi hanya sampai perempatan atau luar rumah saja karena anak-anak mereka sudah dijemput oleh seseorang yang akan mengantarkan anak-anak tersebut berjalan kaki ke sekolah. Orang tua mereka hanya berdiri di tepi jalan sambil memandang anak-anak mereka berjalan menjauh. Memang dari kecil anak-anak tersebut sudah dididik untuk menjadi mandiri dan tidak manja. Sementara di bagian lain saya melihat anak-anak yang lebih besar berpamitan dengan orang tua mereka di depan pintu dan mereka berjalan ke sekolah sendiri atau bersama teman-teman mereka. 

Ada juga serombongan siswa yang mengendarai sepeda mereka menuju sekolah. Nah ... hebatnya lagi mereka sangat mematuhi aturan lalu lintas. Biarpun tidak ada mobil lalu lalang, mereka tetap menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau (baik untuk pejalan kaki, pengendara sepeda maupun pengendara kendaraan yang lain). Tidak ada yang menerobos lampu lalu lintas saat lampu berwarna merah. Mereka benar-benar menunggu hingga lampu berubah hijau. Sabar dan disiplin sekali. 

Saya benar-benar angkat topi untuk kepatuhan dan kedisiplinan mereka. Tidak heran kalau mereka berhasil bangkit dengan cukup cepat setelah hancur akibat pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 dulu. Salah satu hal positif yang patut kita contoh.

Sambil berjalan dan mengagumi apa yang saya lihat, akhirnya saya menemukan pasar pagi yang disebutkan teman tadi. Saat saya tiba belum banyak yang menjajakan dagangannya karena memang masih pagi. Akhirnya saya menyusuri sungai yang membelah kota tersebut. Airnya sangat jernih dan rumah-rumah yang ada di bantaran sungai pun dibangun dengan rapi. Setelah puas menjelajah kota, saya pun kembali ke hotel untuk sarapan karena pada jam 9 pagi, bersama teman, saya akan bergabung dengan tour ke Ainokura Gasso dan Shirakawago, desa yang masuk dalam Unesco World Heritage.

Selesai sarapan kami langsung pergi ke stasiun bus yang jaraknya hanya 3 menit berjalan kaki. Setelah menunjukkan tiket kami, kami langsung naik ke dalam bus yang sudah menunggu. Jam 9 tepat, bus berangkat. Pemandangan menuju Ainokura sangat indah. 

Pemandu yang membawa kami hanya bisa berbicara bahasa Jepang dan bahasa Inggrisnya agak sulit untuk dipahami, jadi peserta tour yang berasal dari negara-negara non Jepang hanya bisa mendapatkan informasi dari brosur yang dibagikan. Tetapi tidak masalah karena pemandangan di sepanjang jalan sangat menakjubkan. Terbayang ketika musim dingin atau gugur, pasti pemandangannya lebih spektakuler. 

Pertama-tama kami mengunjungi desa Ainokura. Di sini terdapat sekitar 20 rumah tradisional yang atapnya berbentuk segitiga dan terbuat dari jerami. Menurut pemandu kami, atap ini dibuat seperti ini karena di daerah ini ketika musim dingin, saljunya cukup banyak sehingga dengan atap seperti itu salju akan cepat turun dan atap tidak harus menopang berat salju yang menumpuk yang bisa menyebabkan robohnya atap rumah. Rumah-rumah tradisional tersebut juga masih dihuni, jadi saat ke sana kita harus berhati-hati dan tahu diri agar tidak mengganggu kenyamanan penduduk setempat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline