Lihat ke Halaman Asli

MARTEL ( Mari Telusuri )

MARTEL ( Mari Telusuri )

Logika Hidup Antara Drama dan Laga

Diperbarui: 2 Oktober 2021   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo Yongki

Jejak seribu pertanyaan tak ada bekas jawaban. Seperti halnya bintang kejora yang menyendiri dari bintang-bintang lainnya. Aku masih terkungkung dalam gelora juang yang bergiliria tanpa sahabat. Begitulah kisah panjang tentang perjuangan ini tak berujung namun meninggalkan jejak pada setiap irisanya.

Kadang kuamati barisan panjang para pejuang seperti bemo kota yang sedang lalu lalang, sempat membuat gregetan karena kemacetan. Siapa yang salah ? Tentunya pemerintah "keluh seorang pengemudi bemo siang itu" pengemudi itu merasa dirinya tak bersalah namun menyalahkan pemerintah yang tidak benar dalam mengelola lalu lintas. "kan ada polisi mas" sahutku menyambut keluhnya" iya tapi bagaimanapun polisi kan di bawa naungan pemerintah dek" bantahnya.

Dalam perjalanan aku hanya terdiam tak ingin menyahut lagi sebab aku sadar bahwa pembicaraan kami tidak akan berujung. Dalam perjalanan aku masih tak puas, pikiranku terganggu ingin sekali mengetahui motiv di balik keluhan sipengemudi bemo tadi. "sudah sampai dek" suara pengemudi bemo itu mengagetkanku, "oh iya pak, terimakasih pak" sama-sama dek. Lalu beberapa saat kemudian bemo itu meninggalkanku di samping jalan. Aku mengayunkan kaki perlahan - lahan menuju kosku.

Malam ini malam munggu, tidak seperti yang lainya berpencar mencari pasangannya masing - masing. Kafe Fajar Timur menjadi rebutan. Orang datang berbondong - bondong bukan karena kopi terbaiknya melainkan merebut siapa yang mengambil alih mic dan spiker untuk karaoke. Lelah telingaku tak mampu bertarung dengan suara yang dikeluarkan spiker, di dalam hatiku muak "kampret" suara hatiku berbisikan amarah. Semarah - marahnya aku tapi tak berdaya, aku memilih larut dalam suasana malam seperti pasar minggu.

Sudah pesan kopi ? Seorang teman datang menawarkanku kopi" oh sudah, gimana kok sendirian, di mana pacarmu ? Pertanyaanya sedikit meledek, Aku hanya bisa menyahutnya dengan tersenyum. Malam ini tak ada inspirasi entah mengapa, mungkin malam yang tidak bersahabat dengan self talkku. Aku  seruput kopi secara perlahan - lahan sambil menikmati sebatang rokok dan menyaksikan kerumunan yang tidak kondusif di warung kopi fajar timur.

Sehari sesudahnya aku bertemu seorang senior dan bercerita banyak hal. Kami merajut pikiran-pikiran yang tidak dirajut, atau mungkin dianggap kusam. Kata seniorku jika ingin menjadi orang hebat bergaullah dengan orang hebat, karena lingkungan sangat berpengaruh. Wah payah sepertinya aku terjebak pada stetment seniorku. Lalu sejenak aku berpikir apakah benar demikian ? Lalu untuk apa gunanya Tuhan. Kata orang, "sukses dan tidaknya seseorang ada di tangan Tuhan". Ada kan yang berjuang dan hidup di lingkungan orang-orang hebat tapi tak sukses. Sebaliknya ada preman jadi dermawan kok. Demikian diskusi kami tak berujung juga.

Sekian pertanyaan dari kenyataan tapi tak ada jawaban. Berbagai laga kehidupan dusta penuh drama, kebaikan dan kejahatan bagiku sama saja, ya sama-sama pencitraan. Apa yang kita impikan belum tentu kita raih, apa yang tidak kita impikan malah akan terjadi. Memang benar kata Iksan Sekuter dalam lagunya "Bingung" mungkin menjadi manusia adalah masalah bagi manusia. Begitulah kita dipertentangkan dalan logika hidup antara drama dan laga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline