Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gendut-gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanah. (Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959)
Momentum peringatan Hari Tani Nasional ke 62 tahun, pada tanggal 24 September. Mengingatkan kita semua bahwa, sejak disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA Nomor 5 Tahun 1960) masyarakat berharap agar UUPA segera di terapkan.
Faktanya produk hukum yang paling monumental, buah pikir para pendiri bangsa, dimasa presiden Soekarno, tidak mudah untuk di implementasikan. Meskipun pergantian kepemimpinan di republik ini silih berganti. UUPA yang revolusioner, kemudian menjadi "out of date".
Kurun waktu dua periode, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dinilai gagal melaksanakan Reforma Agraria. Nasib Marhaen serta para petani Indonesia pada momentum peringatan hari tani nasional, masih belum menemukan titik terang. Harapan Implementasi UUPA masih menjadi doanya disetiap pergantian pemerintah pemerintahan.
Sampai saat ini, para petani kita masih kekurangan tanah garapan. Rata-rata para petani Indonesia hanya memiliki lahan 0,3 hektare. Padahal idealnya, kepemilikan lahan minimal 2 hektare.
Terjadinya alih fungsi lahan produktif, (lahan usaha tani) menjadikan lahan garapan menyusut. Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga usaha petani dalam kurun waktu sepuluh tahun terahir.
Upaya pemerintah mengesahkan Undang-Undang No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dengan memberikan jaminan kesejahteraan kepada petani sampai sekarang belum dirasakan dampaknya, Janji pemerintah untuk tambahan 2 hektare lahan untuk petani guram, selama ini justru dimonopoli para investor. Lantas sampaikapan nasip petani sebagai kamu marhaen dipermainkan.
Gemah Ripah Loh Jinawi
Di bumi pertiwi yang kaya akan sumberdaya alam, sebuah surga tropis yang tanahnya subur, sekarang tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Kurangnya komitmen yang serius guna mewujudkan Sosialisme Indonesia. menjadikan bangsa yang dianugrahi Gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja, menjadikan bangsa kita terjebak dalam krisis pangan.
Sunggu ironis, negeri yang menyandang predikat negara agraris, maritime, dari tahun ke tahun menggantungkan diri pada produk pangan impor. Dali pemerinta yang senantiasa mengatakan, “rakyat butuh pangan yang layak dan cukup, menjadi alibi dikeluarkanya kebijakan impor pangan mulai dari buah-buahan, singkong, cabai, kopi, gula, susu, bawang, tepung terigu, garam dan kedelai, gandum hingga beras.
Badan Pusat Statistik mencatat terjadi peningkatan impor secara besar-besaran di tahun 2013. Secara volume (Januari -Oktober), impor pangan mencapai 15,4 juta ton atau setara dengan US$ 7,73 miliar. Nilai impor produk pertanian kita, melonjak 346%, atau empat kali lipat, selama periode 2003-2013.
Bila hal itu terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pertanian Indonesia akan bernasib seperti sektor minyak dan gas bumi. Indonesia berubah dari eksportir menjadi importir. Ini sungguh gambaran masa depan bangsa yang merisaukan, bahkan menyeramkan bagi generasi masa depan.
Bukankah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan secara tegas memberi mandat kepada pemerintah, agar menetapkan kebijakan impor pangan yang tidak berdampak negatif terhadap usaha petani. Namu kenapa justru nasip para petani kian sengsarah.
Kita semua bisa membandingkan jika bangsa-bangsa yang hidup dipadang pasir yang kering dan tandus bisa memecahkan persoalan ekonominya kenapa kita tidak. Kekayaan alam kita yang sudah digali dan yang belum digali, begitu melimpah.
Rakyat indonesia sangat rajin, serta memiliki ketrampilan yang sangat besar, Ini diakui oleh semua orang diluar negeri. Jati diri rakyat yang memiliki jiwa Gotong-royong, dapat menjadi dasar untuk mengumpulkan Funds and forces.
Ambisi daya cipta Bangsa Indonesia sangat tinggi dibidang politik tinggi, dibidang sosial tinggi, dibidang kebudayaan tinggi, tentunya juga di bidang ekonomi dean perdagangan.
Sesungguhnya tradisi Bangsa lndonesia bukan tradisi, "tempe". Kita dizaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok. Untuk itu kita harus segra bangkit dari kondisi keterpurukan ini.
Menghadapi Pasar Bebas
Sebagai negara dengan kesuburan alam yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, mengapa negeri ini masih saja ragu, untuk menhentikan kebijakan impor prooduk yang sesunggunya bisa diproduksi sendiri.
Menhhadapi masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015. Bangsa kita dihadapkan dengan dua pilihan antara kerebukan kesempatan ekspor atu terjajah dengan impor.
Masih lemahnya kesadaran masyarakat untuk mencintai produk pangan yang di hasilkan para petani, dapat menjadi boomerang bagi bangsa kita. Disisilain MEA merupakan peluang untuk memperluas pasar produk dalam negri.
Pembaruan agraria merupakan dasar landasan pembangunan yang harus dijalankan dalam menhadapi MEA, karena dengan pembaruan agraria maka penataan atau perencanaan di bidang tanah akan menciptakan sistem pertanahan yang bisa memberikan manfaat bagi kepentingan masyarakat.
Melalui Reforma agraria Indonesia akan mampu bersaing dan dapat mensejah terahkan masyarakatnya. Namun pilihan itu kini ada di tangan pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pilihan, berdaulat di bidang pangan atau tunduk di bawah kendali negara-negara pemasok pangan.
M. Ali Shodikin SHI. MH
Direktur Rumah Belajar Pandawa 2011-2015
Ketua KORDA GMNI JATIM 2014-2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H