Lihat ke Halaman Asli

Kisah Langit Jingga (08)

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku kini telah masuk ke dalam lemari mesin waktu itu. Hanya sesaat setelah Profesor Haris mengangkat jempolnya sebagai aba-aba dan memulai alatnya itu kurasakan tubuhku merenggang kemudian mengkerut seperti karet, seolah ada medan magnet yang menarikku kuat sekali—ini cukup menyakitkan dan aku tak mau terlalu mendramatisirnya—lalu akhirnya tubuhku tersedot masuk ke dalam sebuah lubang hitam yang melingkar seperti donat di atas kepalaku; lubang waktu. Dan dengan demikian dimulailah perjalanan menembus waktuku…

Kunjungan pertamaku adalah menuju ke masa sembilan hari yang lalu, persisnya seminggu sebelum Jingga mengakhiri hidupnya. Aku tiba, dengan kondisi utuh, syukurlah, di pagi hari di depan kampus Jingga.

Aku ingat hari ini, siang nanti, adalah pertama kalinya aku melihat Jingga di sudut kantin. Aku akan mengamatinya sambil tak berkedip dari jauh, dan tak berani melangkah untuk sekedar menyapanya dan bilang ‘Hai!’, atau berbicara dengannya. Tepatnya, aku benci mengatakannya, aku mati kutu saat itu. Betapa pesonanya telah menyihirku hingga mematung seperti batu kali. Lalu saat ia menyadari ada yang memperhatikannya, cepat-cepat aku memalingkan wajahku dan berlalu sambil menundukkan topiku.

Aku tahu sebentar lagi Jingga akan tiba di kampus, maka aku pun bersembunyi di balik pos satpam di dekat gerbang. Tak lama gadis yang kunanti itu pun tiba dengan menaiki ojek langganannya. Kukatakan padamu, aku tak dapat menahan gejolak rindu yang membuncah dalam hatiku ketika melihatnya saat itu, sesaat membuatku ingin melompat keluar dari persembunyianku dan memeluknya erat-erat. Aku benar-benar telah melihat Jingga lagi—dalam keadaan hidup; ia berbicara dengan suara lembut pada si tukang ojek, membayar ongkosnya, lalu berjalan melintasi pelataran kampus dengan keanggunan yang hanya bisa kudapatkan pada seorang Jingga. Tuhan, itulah Jingga yang kucintai…

“Ojek!” Aku memanggil tukang ojek yang mengantar Jingga tadi dan menghampirinya. “Bisa anterin saya ke tempat awal cewek tadi naik gak, Bang?”

“Neng Jingga?” tanya si Abang tukang ojek. “Maksudnya ke rumahnya?”

“Iya, Bang,” anggukku.

“Tunggu dulu, ada apa kamu mau ke rumahnya? Bukannya kalau mau menemuinya kenapa gak langsung saja menemuinya tadi?”

“Begini, umm, gimana ya? Pokoknya Abang harus nolongin saya, maksud saya, hanya Abang yang bisa membantu saya… Ini sangat penting! Saya… ah, saya jatuh cinta sama Jingga dan saya mau mendekatinya.”

“Ohh…” si Abang tukang ojek tersenyum mengerti, yang kurang lebih bisa kuartikan sebagai ‘Ah, saya juga pernah muda’.

Ia kemudian mempersilakanku naik ke motornya. Sambil melaju, kujelaskan pada si Abang tukang ojek—“Panggil saja Bang Karim,” pintanya—bahwa aku mempunyai sebuah rencana untuk mendekati Jingga dan aku memerlukan bantuannya. Aku akan menyamar sebagai tukang ojek dan mulai besok akulah yang akan mengantarkan Jingga ke kampusnya. Dalam hatiku aku berjanji untuk berusaha sedekat mungkin dengan Jingga, mencari tahu tentang permasalahan yang dihadapinya, menghiburnya dan menceriakan suasana hatinya apapun yang terjadi. Aku akan mengubah keputusannya untuk bunuh diri kelak. Dengan dua bungkus rokok untuknya dan masing-masing sebungkus untuk tukang ojek lain yang beroperasi di pangkalannya, Bang Karim dan yang lainnya pun menyanggupi permintaanku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline