Lihat ke Halaman Asli

Kisah Langit Jingga (07)

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Saya mendapati mug itu berada di tangan seorang pemuda berandalan yang tengah bersantai di taman, tak jauh dari tempat kita bertemu kemarin,” lanjut Profesor Haris. “Saat itu dia sedang menikmati tehnya sembari mengawasi beberapa anak asuhnya yang tengah mengamen, saya meyakinkan diri melihat inisial saya di bawah mug itu saat dia mengangkat dan meneguk isinya. Kemudian saya menghampirinya dan menanyakan dari mana ia mendapatkan mug itu. Dia bilang, ‘Saya menemukannya di sekitar sini seminggu yang lalu.’ Cocok! Saya senang sekali mendengarnya. Saya mengatakan kalau mug itu sebenarnya adalah milik saya yang terjatuh dan saya bersedia membayarnya. Saya mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet saya, tapi dia mau lebih dan meminta semua uang yang ada di dompet saya. Saat itu saya tidak berpikir panjang lagi, karena di dalam hati saya sungguh girang membayangkan penemuan saya telah berhasil, dan memberikan semuanya. Tapi dasar berandalan kurang ajar!—begitu saya meminta mug itu dia malah kabur. ‘Dasar kakek bego! Kalau mug ini begitu berharga, pastilah mug ini barang antik yang sangat mahal!’ teriaknya. Saya pun berusaha sekuat tenaga mengejarnya. Dan kemudian saya mendapati mug ini telah berada di tanganmu di tengah jalan raya. Begitulah ceritanya.”

‘Wow!’ dan ‘Hah?’—yang terakhir dalam nada mengejek. Hanya dua kata itulah yang terlintas di dalam kepalaku setelah mendengar keseluruhan ceritanya. Tapi tidakkah ini terdengar seperti fiksi-ilmiah yang sukar untuk diterima kenyataan? batinku.

Jangan-jangan profesor tua ini hendak menipuku lagi? Tapi tidak mungkin! Mengingat reputasi dan prestasinya yang sering kubaca di surat kabar, dan juga peralatan-peralatan yang sepertinya mahal yang ada di tempat ini, tak mungkin ia berbohong…

“Jadi maksud Kakek… Kakek ingin saya…” kataku.

“Saya merasa tersentuh mendengar ceritamu kemarin, Anak Muda. Saya juga melakukan hal ini karena saya ingin sekali lagi bisa menjumpai istri saya yang telah meninggal sepuluh tahun lalu. Tapi mesin waktu ini masih jauh dari sempurna dan belum bisa menempuh jarak waktu yang terlalu jauh. Jadi saya ingin bertanya padamu, Langit: ‘Apa kamu ingin sekali lagi bertemu gadis impianmu dan menyelamatkannya dari takdir kematian yang dipilihnya?’”

“Bi-bisakah saya melakukan itu…” suaraku bergetar.

“Untuk itulah kita akan mencobanya,” Profesor Haris tersenyum.

“Ah…”—Kamu dengar itu, Jingga? Kita akan bertemu lagi… Saking senangnya tubuhku sampai tegang sekali.

“Tapi, tentu saja, jangan terlalu gembira dulu, masih ada resiko yang harus kamu hadapi,” kata Profesor Haris kemudian. “Kamu harus tahu, sebelumnya saya belum pernah mengujicobakan penemuan ini pada manusia. Saya hanya pernah melakukannya pada benda-benda yang ada di sekitar saya. Bahkan, pada beberapa percobaan sebelumnya, ada satu kursi lipat yang saya kirimkan ke masa tujuh puluh dua jam lalu, dan pada saat ditemukan di halaman belakang di masa sekarang kursi itu telah kehilangan salah satu kakinya. Ini artinya ada bagian yang ketinggalan atau tidak dapat disatukan dengan sempurna setelah melewati perjalanan menembus waktu. Bukan hanya itu saja, ada juga vas bunga yang saya kirimkan ke masa lalu namun tidak pernah ditemukan. Padahal saya telah mencarinya dengan teliti di titik koordinat lokasi tempat saya mengirimkannya. Yah, mungkin saja benda itu terjebak di zona waktu antah berantah dan tak bisa ditemui lagi. Kasihan Bi Anis yang tak tahu apa-apa terus mencari-cari benda itu—hehehe… Ehem! Jadi bagaimana menurutmu?”

Aku menelan ludah mendengar penjelasan itu. “Jadi… jadi maksud Kakek saya manusia pertama yang mau dijadikan sebagai kelinci percobaan?”

“A-ah! Itu pilihan kata yang salah, Anak Muda!” Profesor Haris melambaikan telunjuknya. “Saya tidak pernah memaksamu untuk melakukan apapun. Saya hanya ingin menawarkan padamu sebuah kesempatan. Pilihan sepenuhnya ada di tanganmu: mau meneruskan ini atau tidak?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline