Lihat ke Halaman Asli

Kisah Langit Jingga (01)

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemuda itu—saat pertama kali melihatnya aku merasa seperti sudah pernah melihatnya sebelumnya. Dimana? Entahlah, pokoknya di suatu masa dalam hidupku, wajahnya tak tampak asing di mataku. Ia seorang tukang ojek baru—oh, please jangan langsung skeptis dan mengatakan kalau ceritaku ini tak menarik dulu hanya karena aku meyebutkan profesi tukang ojek sebagai objek ceritaku—di depan lorong komplek perumahanku. Sebenarnya aku kurang sreg juga naik ojeknya, pasalnya ia kurang lincah menyalip kendaraan yang ada di depannya dan terlampau pelan membawa motornya untukku yang sedang memburu waktu. Heran juga, di antara semua tukang ojek langgananku, kelima-limanya, mereka menolak mengantarku ke kampus pagi ini. Tapi, yah, setidaknya aku menghargai mereka, mungkin ini salah satu bentuk solidaritas mereka pada rekan baru mereka yang tengah memboncengku saat ini. Sementara aku mengoceh di dalam pikiranku, kami sekarang telah sampai di tempat tujuan. Ia kemudian berhenti di depan gerbang kampusku. “Nih!” Aku mengembalikan helm-nya dan mengulurkan selembar lima ribuan sebagai ongkosku. Ia menerima helm-nya, tapi tak mengambil uangku. “Kenapa? Kurang ya, Bang?” tebakku dengan mimik tak senang. “Biasanya juga saya bayar segitu sama tukang ojek yang lain. Nih, saya tambahin dua kali lipat!” Ia menggeleng, tersenyum menatapku. “Nama saya Langit,” katanya. “Berikan saja namamu. Itu ongkos yang saya minta.” “Apa?” “Saya bukan tukang ojek kok. Saya sengaja menyamar sebagai tukang ojek supaya saya bisa berkenalan denganmu.” Wow! Kalian dengar itu? Pagi-pagi begini sudah ada yang menggombaliku. Sebelumnya aku bukanlah gadis yang gampang tersanjung, tapi dengannya kali ini, ah, aku merasa berbeda. Aku merasa wajahku sedikit memerah. Maksudku, well—yah, aku rasa aku bisa membuat sedikit pengecualian untuknya. Hanya sedikit kok. “Jingga. Nama saya Jingga,” jawabku sebiasa mungkin, aku tak mau terlihat kikuk di hadapannya. “Nama yang cantik…” “Seperti orangnya? Huh, basi!” Oh my God? Dasar perayu di pagi hari. Menyesal aku memberinya pengecualian tadi. “Jam berapa pulang?” “Eh?” “Saya bisa menjemputmu kalau kamu gak keberatan. Gratis kok,” senyumnya melebar, menampilkan sederet giginya yang rapi. Gila! Dikasih hati, malah minta jantung. Dasar cowok. “Ah, saya terburu-buru! Saya ada kelas pagi ini.” Aku bergegas meninggalkannya yang masih berdiri tersenyum-senyum di atas sepeda motornya. Sesekali dari kejauhan aku meliriknya sekilas. Saat itulah aku merasa kalau aku pernah melihatnya sebelumnya. Entah dimana, aku merasa seperti pernah melihat wajahku di pantulan sorot matanya yang teduh. [bersambung...] Kisah Langit Jingga (02) Kisah Langit Jingga (03) Kisah Langit Jingga (04) Kisah Langit Jingga (05) Kisah Langit Jingga (06) Kisah Langit Jingga (07) Kisah Langit Jingga (08) Kisah Langit Jingga (09) Kisah Langit Jingga (10 - Selesai) >>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini. >>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com. Sumber gambar: http://www.agv.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline