Lihat ke Halaman Asli

Gloria Manarisip

I'm just an ordinary writer who is amazed by korean and pop culture

Belajar dari "Orang Asing"

Diperbarui: 26 April 2016   21:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Brandenburger Tor Gerbang Kebebasan"]

[/caption]Germany, 25 April 2016

Pada akhir bulan Maret, saya mendapatkan pesan teks dari salah satu murid JPR (Journalismus/ Public Relations) Westfalische Hochschule. Di akhir percakapan kami, ia menulis "let me tell you one thing: if you ever need anything or any help, let me know. You guys are not alone here. I know how hard it can be to live in a country where you don't know anyone nor the language. It's tough!"

Setahun yang lalu, tidak pernah lewat dalam pikiran kami untuk melakukan perjalanan udara 17 jam lamanya dari tanah air, jauh dari orang tua, ke sebuah negara yang memegang andil besar dalam sejarah dunia.

Deutschland, Germany, atau Jerman. Saya sering mendengar stereotype yang kurang menyenangkan mengenai orang-orangnya. Ada yang bilang mereka masyarakat yang "rude" dan kaku. Ada kemungkinan mereka tidak akan menjawab kita dengan sopan atau hanya menunjuk peta yang ada apabila kita bertanya "Dimana jalan X?". Namun ada sesuatu yang kini membuat saya melihat negeri pecinta sepak bola dan bir ini dengan cara yang berbeda.

Saya dan Rachel tiba di tanah Jerman pada tanggal 11 Maret 2016. Sementara Ardelia dan Reika telah sampai satu hari sebelumnya di satu kota yang akan menjadi rumah sementara kami sampai beberapa bulan ke depan, Gelsenkirchen. Sekitar pukul 11 siang, saya mendarat di Dusseldorf dan berusaha menemukan Rachel di meeting point yang telah kami tentukan. Kami terbang bersama dari Jakarta namun mendapat flight yang berbeda dari Amsterdam. 

Saat masih berada dalam satu pesawat dari Kuala Lumpur-Amsterdam, kami sepakat akan satu hal: "Kalau udah gak ada Wi-Fi tunggu di McDonald yaa. Jangan kemana-mana".

Gak ada Wi-FI? Kok bisa? Ya, we better watch it! Jerman memberlakukan hukum yang menekan piracy dan penyebaran konten dengan hak cipta. Sehingga kebiasaan download kami saat masih berada di Jakarta sangat berbahaya di sini. Sanksinya? Surat dari polisi atau penalty dari 800-2000 euro. Itulah sebabnya banyak orang yang takut untuk membuka free Wi-Fi hotspot. Karena siapapun bisa menggunakan Wi-Fi untuk download ini itu.

Akhirnya, saya bertemu dengan Rachel yang dengan setianya menunggu di McDonald meskipun dudah kebelet ke toilet. Bayangkan, teman saya ini sudah duduk 4 jam lamanya di kursi yang sama semenjak pesawatnya mendarat duluan di Dusseldorf. Saat saya bertemu dengan Rachel, ia tidak sendirian. Dua mahasiswa 'bule' dari kampus yang akan menerima kami sudah duduk di sana.

Mereka memeluk kami dan dengan sopan membawakan koper kami masing-masing juga menanyakan cuaca di Indonesia. Satu lagi hal yang kami sadari, merupakan hal yang wajar bagi orang Jerman meskipun masih tergolong orang asing untuk memeluk satu sama lain saat pertama kali bertemu. Stereotype tentang mereka yang sebelumnya membuat saya was was perlahan menghilang.

Begitu sampai di parkiran, saya juga sadar bahwa kami telah sampai disuatu negara dimana gadis berusia 20 tahun mengendari Volkswagen, Audi atau Mercedes merupakan pemandangan sehari-hari. Practically all of that brands built their country's image. Jerman memiliki banyak produksi otomotif kelas dunia, dan kesuksesan brand-brand tersebut mengokohkan image negara mereka sebagai produsen high technology. Jauh sebelum Jerman terkenal akan teknologi, negeri ini mengandalkan perekonomiannya melalui industri mining. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline