Sangat menarik menonton karya Watchdog soal Baduy yang rilis pada Mei 2015, empat tahun silam.
Dilansir dari Antaranews, masyarakat suku Baduy menolak dana desa tahun ini. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Pemkab Lebak Rusit menyatakan bahwa penolakan itu karena pembangunan dikhawatirkan merusak kelestarian adat. Penolakan ini juga merupakan keputusan pemangku adat dan masyarakat.
Disini, makna pembangunan yang dimaksudkan adalah pembangunan fisik, atau infrastruktur. Adapun pengalokasian bantuan dana desa tahun 2019 untuk masyarakat Baduy sebesar Rp2,5 miliar. Besar sekali menurut kacamata saya. Memangnya buat apa sih?
Tahun lalu, dalam pemberitaan Antaranews menyebut masyarakat Baduy masih menerima dana desa. Ini menarik. Masih dilansir dari Antaranews, masyarakat komunitas Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, ini memperoleh bantuan pembangunan desa sebesar Rp2,1 miliar tahun 2018. Angka ini meningkat dari 2017, namun entah mengapa tidak disebutkan tahun sebelumnya berapa anggaran yang digelontorkan.
Beberapa keterbatasan informasi lain juga bisa mengakibatkan gagal logika pembaca. Salah satunya kalimat ini:
"Pengalakosian dana pembangunan desa khususnya masyarakat Baduy tahun ini mengalami peningkatan cukup tajam dibandingkan tahun sebelumnya.
Peningkatan dana tersebut karena wilayah Baduy masuk kriteria daerah tertinggal juga warganya banyak kalangan keluarga pra sejahtera.
Menurut dia, selama ini masyarakat Baduy menolak pembangunan infrastuktur jalan, jembatan, penerangan listrik, kesehatan, pendidikan, penyedian air bersih dan sanitasi MCK."
Ada deskripsi bahwa masyarakat Baduy adalah masyarakat tertinggal. Ada jarak identitas yang menurut saya menjadikan Baduy sebagai alien, dan si jurnalis adalah pengamatnya. Lalu si jurnalis yang memberi identitas "mereka itu tertinggal loh". Ada juga kesan bahwa mereka hidup prasejahtera. Lantas seperti apa definisi hidup sejahtera bagi masyarakat adat?
Uniknya lagi, semua penelusuran saya terkait pemberitaan selalu memakai pernyataan dan mengutip pejabat publik.
Saya jadi membatin "Dimana omongan masyarakat Baduy?" Maaf jika saya jadi terkesan menggurui. Sejatinya saya pun sedang belajar menjadi jurnalis yang adil dalam berpikir. Menurut saya, anda perlu bertanya langsung kepada masyarakat Baduy, mereka butuh apa, wahai jurnalis ibukota.