Polarisasi yang terjadi selama kampanye Pilpres 2019, antara pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin, Prabowo-Sandiaga, dan Nurhadi-Aldo, membuat saya bertanya-tanya. Apa yang memicu sebuah polarisasi terjadi? Mengapa social movement bisa menyebabkan polarisasi? Apa yang terjadi dengan demokrasi nantinya?
Pernahkah kita mencoba merenungkan apa saja pencapaian kita dalam demokrasi selama ini? Ataukah semua yang kita lakukan sungguh tidak ada kemajuan? Apa benar demokrasi Indonesia sedemikian bobrok?
Pada 12 Desember 2018 saya menonton debat Indonesia Lawyers Club (ILC) antara Boni Hargens dan Fadli Zon yang sungguh menarik. Pernyataan Boni Hargens tentang politik identitas dan radikalisme yang dia beri label melalui gerakan Reuni 212 memang saya nilai cukup arogan.
Logika berpikir Boni sebenarnya tidak salah, argumentasi dia juga tidak salah menurut saya. Namun, cara dia mengemas narasi itu memperkuat keyakinan dia bukan lagi pengamat yang objektif. Jelas saja argumen Boni diserang lagi oleh Fadli Zon.
Singkat cerita, Fadli lagi-lagi mengkritik media yang tidak meliput Reuni 212 karena tidak independen. Namun yang paling menggelitik ketika Fadli menyebut Reuni 212 adalah gerakan social movement. Saya tersentak, bukan karena Fadli berkelakar. Menurut saya kali ini Fadli telah menyentuh croc brain saya dengan menyebut Reuni 212 sebagai social movement ketimbang ajang kampanye politik.
Boni dan Fadli pun memperdebatkan seputar definisi politik identitas di layar kaca, yang andai mereka tahu, sesungguhnya banyak jurnalis zaman now yang bahkan tak tahu apa itu politik identitas. Namun pada sisi lain kita perlu memaklumkan adu argument dua orang ini, sekiranya ilmu pengetahuan membuat mereka bisa cukup pongah untuk saling serang pisau analisis.
"REUNI 212"
Kembali ke soal social movement, saya pun jadi berintrospeksi apa itu social movement? Status Facebook saya soal hal ini pun mendapat respon menarik dari seorang kawan, Arlandy Ghiffari, dia menyatakan, "Apakah social movement mesti bersandar pada sebuah isu atau cukup kesamaan identitas, atau keduanya?"
Ada lagi respon dari Mbak Sri Maryati yang menyatakan, "Kalau tidak salah ciri-ciri gerakan sosial antara lain: tindakan tersebut dilakukan oleh sekelompok orang secara bersama-sama, memiliki tujuan jelas yang ingin dicapai, dan dilakukan secara terus-menerus. Misalnya gerakan mengirim bunga untuk Ahok, seberapa pun besar guncangan yang dihasilkan tetapi kalau tidak ada keberlanjutan tidak bisa dikategorikan sebagai gerakan sosial, kecuali ada ada rangkaian tindakan yang menyusulinya secara terus-menerus."
Atau dua pernyataan itu, saya akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa Reuni 212 memang bisa saja disebut sebagai Social Movement karena berkemampuan menggerakan massa sebesar itu.
Tanpa banyak mengutip para ahli, cukup dari Britannica.com, Social movement, loosely organized but sustained campaign in support of a social goal, typically either the implementation or the prevention of a change in society's structure or values. Definisi ini menandakan, bahwa sebuah social movement, atau pergerakan sosial, memang adalah bentuk implementasi dan aksi preventif untuk mengubah struktur sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat.