Turut berbela sungkawa atas para korban kerusuhan di Mako Brimob.
Semoga para korban, baik polisi maupun narapidana mendapatkan ketenangan, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan.
Tak lupa, saya mengungkapkan sedikit harapan saya kepada semua elemen masyarakat, apalagi sama pemerintah, supaya tetap damai dan adil dalam mengambil keputusan dan memanusiakan manusia. Seharian ini saya banyak menerima input diskusi dari kawan-kawan, banyak yang blak-blakan menghina kaum teroris dan mengusulkan hukuman mati, banyak juga yang mengeluhkan kasus ini karena memecah belah Indonesia, serta merusak citra Islam yang damai dan harmonis.
Ngomong-ngomong soal hukuman mati,
ramainya #TindakTegasTerorisme atau #KamiBersamaPolri, tanpa melihat rangkaian jejak sejarah hukuman mati di Indonesia, rasanya sangat sia-sia. Ambil saja contoh kasus Tibo CS di Sulawesi Tenggara, (kawan saya dan orangtua saya mengambil contoh yang sama), mereka dieksekusi mati padahal sampai hari ini tidak ada pembuktian bahwa mereka bersalah.
Sempat terlintas dalam benak saya, apa sebegitu murah harga hak asasi masyarakat sipil ketimbang masyarakat dengan label tertentu? Menjadi masuk akal, pertanyaan mengapa teroris tidak dihukum mati saja, jika dia jelas-jelas melukai bahkan membunuh banyak orang? Bagaimana menjawabnya?
Menimbang-nimbang pertanyaan itu, saya 'nyasar' pada salah satu wawancara di Kompas TV, bersama mantan narapidana teroris yang kini ikut melawan gerakan radikal. Namanya Pak Sofyan Tsauri. Kebetulan, ex napi ini pernah dipenjara di Mako Brimob, sehingga dia tahu persis suasana di lokasi tersebut. Dalam wawancara, dia membeberkan sejumlah kejanggalan dan kecatatan yang perlu menjadi evaluasi pemerintah.
Pertama, soal perilaku aparat kepada narapidana yang sewenang-wenang, aksi tersebut menjadi akumulasi untuk mereka melakukan perlawanan terhadap polisi. Contoh kesewenang-wenangan, aparat kadangkala dengan sengaja (atau tidak) menunda mengirim titipan keluarga kepada napi. Padahal titipan itu sudah melalui proses pemeriksaan.
Berikutnya, mengapa bisa polisi seperti lambat merespon kerusuhan? Jelas saja terjadi, sebab lokasi Mako Brimob sudah overcapacity. Saya tidak bisa membayangkan 150 orang lebih narapidana berada dalam tiga gedung.
Selain itu, evaluasi penting lain bagi pemerintah dan aparat adalah kelambanan dalam melakukan deradikalisasi. Padahal, narapidana teroris adalah orang-orang yang bermasalah dengan batin dan pikirannya, ketika masuk ke penjara, mereka belum langsung menerima deradikalisasi. Kadangkala deradikalisasi itu justru dilakukan setelah narasumber bebas.
Masih di Kompas TV, si mantan teroris ini membuat pernyataan yang sangat menghentak saya. Kira-kira begini; dengan jumlah 150 narapidana, belum melalui proses deradikalisasi, hidup bersama, dalam tekanan. Tidakkah kondisi itu justru memperkuat radikalisme? Bukankah dengan jumlah ratusan lebih itu, Mako Brimob malah menjelma "madrasah" yang memupuk radikalisme para penghuninya?