Lihat ke Halaman Asli

Tentang Kartini yang Galau

Diperbarui: 21 April 2016   01:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dulu sekali, sahabat saya, Inasshabihah namanya pernah berkata,"Tit, lu cocok loh jadi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Lu punya kemampuan untuk membangkitkan seorang perempuan dari kegalauannya. Lu bisa memotivasi perempuan untuk tak berlarut-larut dalam patah hatinya, bagaimana mensinergikan pikiran dengan hatinya."

Mendengar perkataan Inas, saya hanya tertawa, dan saya membalasnya dengan guyonan bahwa saya lebih ingin menjadi Menteri Pertahanan, untuk mempertahankan Indonesia. Baik itu laki-laki atau perempuan. Eh, tetapi tidak bisa soalnya jatah Menteri Pertahanan itu adalah jatahnya Tiara Djarot. Lalu kata Inas, saya jadi Menteri Hukum dan HAM juga bisa. Itu boleh juga, soalnya saya punya darah politisi dari para kakek dan ayah saya, kalau Tiara itu punya darah militer jadi cocok untuk menduduki jabatan Menteri Pertahanan. Nah, Inas, lebih cocok jadi Menteri Agama. Hahahaha.

"Sudahlah, daripada jadi menteri aneh-aneh, gue jadi Menteri Perhubungan saja, supaya hubungan gue dan dia dilancarkan Hahahaha. Amin. Eh, tapi dianya, dia siapa? Hahahaha," tawa pun semakin pecah.

Bukan soal reshuffle Menteri yang sebenarnya mau saya bahas, tetapi soal perempuan. Lagi-lagi soal perempuan.

Hari ini (yang baru berlalu beberapa jam lalu), 20 April 2016, saya berkenalan dengan salah seorang kawan jurnalis perempuan. Dia berasal dari media cetak yang berkantor di Kebon Jeruk. Dia lebih senior dari saya, tepatnya kami berselisih usia dua tahun.

Kami sama-sama menghabiskan waktu bersama liputan sepanjang hari dari pagi sampai malam di Balai Kartini. Kami sama-sama mengetik dengan ngemper di lantai loby beralaskan karpet merah sembari memasang lagu masing-masing untuk memacu inspirasi menulis. Sesekali dia bertanya kepada saya, apakah hujan di luar sudah reda, tetapi saya jawab, 'Belum reda Kak." Hari ini hujan mengamuk cukup lama, saya hitung-hitung seharian di dalam gedung megah dengan mesin pendingin hujan sementara di luar sudah turun deras tiga kali. Masih ada gerimis-gerimis yang membuat kami enggan keluar.

"Kak, sudah kelar hujannya, mau pulang?" tanyaku.

"Iya. Aku laper banget, sudah lemas. Maklum lagi menstruasi hari kedua," jawab si Kakak.

"Ah Ya Ampun. Iya, disini hotel mewah tapi restorannya sore sudah tutup. Kita gak bisa makan Kak. Atau kakak mau ikut aku, kita makan Mekdi di Pasfest?"

"Ya tapi jauh Tita, dari Pasfest ke kosanku di Kebon Jeruk lumayan jauh mutarnya," keluh si Kakak.

Aku agak kasihan dengan si Kakak yang nampak sangat lemas karena sedang datang bulan tetapi nyaris 6 jam tidak minum dan makan. Keadaanku masih jauh lebih baik karena sedang tidak datang bulan. Aku mengatakan kepada si kakak, bahwa aku ingin jalan kaki, dia menyarankan sebaiknya aku jangan nekat jalan kaki dari Balai Kartini ke Pasfest, aku belum makan, nanti aku pingsan (lagi) kan bahaya. Hahahaha. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline