"Mama kok cerewet banget sih, terlalu banyak aturan, ini itu serba nggak boleh!"
Masih teringat jelas dibenak saya bagaimana saya merasa sebagai seorang anak, seperti terintimidasi dengan semua aturan-aturan yang dibuat oleh mama. Dan setiap kali kata-kata itu terlontar dari mulut saya, bukannya mereda amarah mama justru tak terbendung.
Tapi masa-masa seperti itu justru sekarang menjadi bagian dari hidup saya. Sangat bersyukur ketika pernikahan saya dikaruniai seorang anak laki-laki yang tentu menjadi kebanggaan saya dan keluarga.
"Kalau nanti kamu jadi seorang ibu, pasti kamu akan merasakan apa yang saya rasakan". Itu yang selalu mama katakan. Saya nggak komplain atas apa yang saya alami sebagai ibu sekarang, karena saya sudah memilihnya.
Melihat anak saya tumbuh sampai di usia sekarang ini, saya pun mulai memahami dan mengaminkan apa yang mama pernah katakan, "Didik anak-mu sejak kecil, karena kamu adalah orang pertama yang akan ditirunya kelak".
Bukan cuma sampai disitu, kalau banyak yang mengatakan bahwa kesuksesan anak bisa dilihat dari seberapa cerewet Ibunya, saya rasa ini juga benar. kalimat ini muncul bukan tanpa alasan karena ibu merupakan orang pertama yang akan mengenalkan norma-norma pada anak sebagai 'modal awal' agar anak menjadi pribadi yang baik.
Di umur dua tahun ketika anak-anak seusia Nathan sudah bisa berucap beberapa kata dengan jelas, tapi saat itu ia hanya baru lancar mengucapkan kata ma-ma. Tentu ini bagi saya seperti 'pukulan' karena saya merasa ada yang salah dari cara saya mengurusnya, sehingga tumbuh kembangnya melambat.
"Anaknya diajarin ngomong dong!", kamu nggak cerewet sih!". Ucap mama saat mengetahui cucunya masih belum lancar bicara di usia 2 tahun.
"sudah, ma", jawab saya berusaha meyakinkan.
"Tapi itu anak kamu sudah umur segini, ngomongnya kok masih ma, ma, ma...".
Saya tidak lagi menjawab hanya bisa terdiam dan menerima apa yang mama katakan sebagai cambuk diri.
"Maaaa-kannn', mama berusaha mengajari Nathan, mengucapkan satu patah kata, 'makan'. Alih-alih menirukan ucapan neneknya, Nathan tak mengeluarkan suara dan hanya menjawab dengan 'ma' saja. Ini membuat neneknya semakin gemas.
"Gimana, sih ini? Ajakin ngomong. Kamunya jangan diam saja, harus cerewet dong!."
"Apa aja yang kamu lakukan sih sampai anak nggak diajarin ngomong?". Ucapan seperti itu yang terus mendengung ditelinga saya kala itu.
Tak mau dibilang tak becus mengurus anak. Saya mulai membekali diri dengan banyak membaca dan mencari literasi. Saya mulai berpikir jika saya dulu yang perlu dibekali. Bagaimana untuk bisa memahami dan mengasah kemampuan anak. Saya tak mau disudutkan dengan kalimat, "umur segini bicara saja belum bisa, bagaimana masa depannya nanti!".