Lihat ke Halaman Asli

Gladiol Institut

Diaspora Muda Maros

Jangan Mau Dikibuli Kandidat yang Jualan Slogan Bukan Program

Diperbarui: 26 Desember 2019   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam seminggu terakhir, mulai muncul klaim bakal calon yang akan berpasangan dan dilontarkan di jagat media sosial (ada juga yang telah mendeklarasikan diri). Tapi menariknya, Pilkada Maros yang akan berlangsung 9 bulan lagi, masih berkutat pada slogan dan figur, dan belum membahas program secara rill dan menarik.

Bagi kami, perkembangan politik khususnya lagi literasi politik warga di Kabupaten Maros masih sangat terbelakang dan cenderung menyedihkan. Seperti yang kami katakan di atas, Pilkada Maros hanya fokus pada penampilan figur dan slogan. Pilkada harus diakui adalah pertarungan figur, namun tidak melupakan sebuah program yang ditawarkan kepada masyarakat.

Kenapa sebuah program kandidat di Pilkada penting untuk diketahui masyarakat? Sebelum kami menjawab hal ini, perlu kiranya kami memaparkan sebuah data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang seharusnya diketahui masyarakat, yang menggambarkan betapa terpuruknya kondisi Maros saat ini. 

Berdasarkan data di tahun 2017, soal kependudukan di Maros, tercatat Maros akan menerima bonus demografi dengan pendududuk usia muda dan produktif sangat banyak yang siap memasuki dunia kerja. Dengan kata lain, setiap 100 orang penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan menanggung setidaknya 54 penduduk usia non produktif (0-14 tahun dan 64 tahun ke atas).

Jika diiturunkan lebih jauh untuk kategori angkatan kerja, maka tercatat sekitar 142.621 penududuk yang masuk dalam angkatan kerja dan penduduk yang tidak masuk angkatan kerja di tahun 2017 sebanyak 104.114 penduduk yang didominasi penduduk yang mengurus rumah tangga sebanyak 70.8 persen atau jika diterjemahkan dalam angka, maka ada 65.877 perempuan dan 7.840 yang mengurus rumah tangga.

Sedangkan pada persentase pengangguran terbuka di Maros berdasarkan data 2018 adalah 6,19 persen (kota 8.16 persen dan desa 4.87 persen). Jika dibandingkan dengan beberapa daerah lainnya semisal Gowa (4,80 persen), Takalar (3,88 persen), Bone, (2,82 persen), dan Makassar (12,19 persen), maka Maros sebagai salah satu kota yang terbesar tingkat penaggurannya di Sulsel.

Dari beberapa penggambaran data di atas, jika kami adalah dokternya, maka kami dapat menyebut Maros dalam tahap kronis dan berpenyakitan. Para kandidat hanya peduli dengan keterpilihan (pastinya seperti itu), tetapi tidak menawarkan sebuah perubahan dan pembaharuan di masa akan datang. Idealnya bahkan seharusnya para kandidat fokus memberikan gambaran soal masa depan Maros. 

Kami juga ingin mengingatkan, Maros adalah salah satu daerah diantara ratusan daerah lainnya di Indonesia,  yang saling bersaing dalam petumbuhan ekonomi dan manusianya.

Jika warga masyarakat Maros hanya apatis dan tidak bergerak (bahkan berteriak) menentukan nasibnya sendiri, menutup mata dan diam maka kami yakin, Maos hanyalah kota yang  hanya diketahui adalah daerah di pinggiran Kota Makassar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline