Hampir semua jenis bahan pangan di pasar Indonesia semakin hari menunjukan kenaikan harga yang bisa dibilang signifikan. Bahan pangan merupakan barang kebutuhan primer yang sehari-hari dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia mulai dari yang pokok seperti beras, gula, daging dan minyak goreng hingga yang kecil-kecil seperti cabai dan bawang merah dan kedelai. Harga bahan pangan yang semakin naik tidak mempengaruhi permintaan di pasar, artinya setinggi apapun harganya pasti ada yang beli dan pasti habis karena hal ini adalah urusan perut. Masyarakat kecil sudah sangat menjerit akan situasi ini namun dalam hal ini banyak pihak yang bersembunyi dibalik teori ekonomi yang terkenal tak terkecuali para pedagang dan menganggap itu hal yang wajar.
Teori ekonomi yang paling popular dikalangan siswa SMP yang mulai belajar IPS ekonomi adalah Semakin banyak permintaan di pasar maka semakin mahal harga suatu barang tersebut dan berlaku sebaliknya atau semakin sedikit jumlah barang yang tersedia maka semaik mahal harga barang tersebut dan berlaku sebaliknya.
Sangat disayangkan, mengapa teori ekonomi seperti ini yang di doktrinkan kepada masyarakat Indonesia yang pernah mengenyam pelajaran ekonomi di SMP. Harusnya doktrin teori itu sekarang harus diganti dengan teori syariah, Arab Saudi berhasil mempertahankan nilai dan harga suatu barang dari tahun ke tahun di negaranya. Pada akhirnya kita tahu akibat dari pelajar itu sekarang, semakin lihai masyarakat kita menaikan harga barang. Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu menanggapi secara serius kenaikan harga-harga bahan pokok di Indonesia saat ini.
Pada awal menjabat sebagai presiden, Pak Jokowi pernah membuat kepres tentang harga-harga barang sebagai solusi dari kenaikan harga yang terus menerus. Kepres ini berisi daftar harga barang-barang tertentu beserta harga termahal yang boleh di patok oleh para pelaku ekonomi. Namun ternyata kepres ini belum mampu melakukan stabilitas harga atau menjaga bahan pangan pada harga yang wajar. Kita ketahui bersama bahawa pada awal tahun ini hingga sekarang pemerintah kesulitan melakukan stabilitas harga daging yang melambung jauh terbang tinggi terutama di Ibu Kota Jakarta yang sempat tembus Rp120-130 ribu/kg.
Saya rasa tidak hanya daging, tetapi juga hampir pada semua kasus kenaikan harga bahan pangan pemerintah cenderung tumpul atau lamban dalam menangani hal ini. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk melakukan stabilitas harga bahan pangan seperti menindak para distributor nakal yang dicurigai memainkan harga dengan menimbun stok bahan pangan.
Tidak cukup sampai disitu keran impor juga di buka sebagi bentuk frustasi bahwa sudah buntu mau melakukan apa lagi sudah mentok jedok. Namun ternyata hal tersebut juga belum mampu mengatasi masalah stabilitas harga bahan pangan sehingga pemerintah melakukan intervensi langsung di pasar dengan cara operasi pasar.
Ibarat kompres demam, Operasi pasar terbukti dapat menurunkan kenaikan harga bahan pokok dipasaran, numun tidak bertahan lama. Operasi pasar adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk melawan kenaikan harga dengan menjual barang tertentu dengan harga dibawah harga pasaran yang ada, kegiatan ini biasanya dilakukan di depan pasar dan dalam tentang waktu yang singkat atau sebentar.
Setelah operasii pasar yang biasnya berlangsung selama 1-2 hari atau paling lama satu minggu biasanya bahan pangan yang di intervensi harganya bisa turun menuju stabil, namun demikian hal ini hanya berlaku sementara begitu operasi pasar selesai, pasar kembali demam tinggi. Ketika beras naik ada operasi pasar beras murah, gula naik operasi pasar gula murah, minyak goreng naik operasi pasar minyak goreng begitu terus gak habis-habis, lebih lama harga naiknya dari pada operasi pasarnya, coba kalau ada operasi pasar tiap hari. Seandainya saja banyak elit negeri ini yang paham betul konsep dasar logistik tentu hal-hal seperti ini bisa dengan mudah diselesaikan.
Pada era pemerintahan Presiden Jokowi, logistik mendapatkan perhatian penuh beriringan dengan infrastruktur dan transportasi karena beliau paham betul bahwa harga barang tidak lepas dari tingginya biaya logistik di negara ini. Logistik adalah suatau rangkain proses membuat atau memperoleh barang, menyimpan barang, mendistribusikan barang, hingga menjual barang. Membuat atau memperoleh barang itu seperti membeli barang dari petani atau impor dari luar negeri. Setelah mendapatkan barang kemudian barang itu disimpan di gudang, jika pasar membutuhkan maka akan segera didistribusikan ke pasar untuk dijual kepada konsumen tingkat akhir alias masyarakat umum. Nah intervensi permanen yang dilakukan pemerintah tadi hanya maksimal sampai pada proses distribusi. Dalam hal memperoleh barang untuk kasus harga daging pemerintah melakukan impor sapi local dari Nusa Tenggara (permanen) dan interlokal dari Australia (kalo kurang aja) ke Jakarta. Dalam hal menyimpan dan distribusi, pemerintah telah memegang kepala dan menggandeng para distributor swasta dan BUMD, kalo macem-macem penggal. Terakhir dalam hal penjulan, hal ini tetap saja belum bisa dikontorol secara maksimal. Ketika para distributor di tekan harus menjual dengan harga 80 ribu, ya mereka jual harga 80 ribu/kg untuk daging ke pedagang.
Setelah diterima pedagang dengan harga 80 ribu disini drama dimulai. Dalam sebuh pasar anggap saja 3 orang pedagang daging yang mendapat daging dari distributor yang sama nah pedagang A butuh uang untuk beli I phone anaknya, dia pikir kalo daging dijual 100rb masih laku lah ya ternyata bener, masih laku. Pedagang B butuh uang buat bayar UKT anaknya, dia pikir harga 110rb masih laku lah ya, eh tenyata masih aja ada yang beli. Pedagang C butuh uang lebih karena anaknya yang no 2 mau masuk SMA swasta karena gak diterima di negeri, dia pikir 120 masih laku deh kayaknya butuh duit nih!!!!, eh ternyata masih ada aja juragan bakso yang borong dagingnya.
Dari sini, apakah bisa kita menyalahkan pedagang daging tadi? Tentu tidak. Apakah pantas pemerintah menindak mereka? Tentu tidak pantas rasanya. Saya ingin mengatakan bahawa tingginya harga logistik bahan pangan tidak hanya dipengaruhi oleh keterbatasan infrastuktur dan indeks konektifitas saja, tetapi ada juga faktor lain yaitu terlalu banyak tangan yang bermain dan mengambil keuntungan di setiap proses logistik yang ada. Hal ini terjadi karena ditengarai akibat tumpulnya badan urusan logsitik nasional alias BULOG.