Lihat ke Halaman Asli

Mendongeng yang Kian Terlupakan

Diperbarui: 27 Oktober 2017   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika duduk di Kelas III SD, guru kesayangan yang sekaligus wali kelas kami memiliki cara yang jitu dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti. Beliau selalu menyisipkan dongeng pada akhir pelajaran pada hari Jumat atau Sabtu. Melalui gaya mendongengnya yang khas mampu menghipnotis kami dan semua siswa larut dalam dongeng yang beliau bawakan. Tak sedikit wejangan-wejangan beliau yang masih kami ingat sampai saat ini. Nasihat-nasihat tersebut melekat pada kami sehingga secara tidak kami sadari tercermin dalam perilaku sehari-hari.

Jika kita simak keadaan sekarang, banyak orang tua mengeluh karena sulitnya menasehati atau menanamkan nilai-nilai kebaikan pada anak-anak mereka. "Anak-anak zaman sekarang beda dengan waktu kecil saya dulu. Sekarang, masih kecil sudah berani sama orang tua, tidak hormat, membangkang, suka melawan. Tidak tahu dosa dan durhaka pada orang tua", ujar Yuni prihatin. 

Salah asuh. Rasanya semua telah dilakukannya. Mungkinkan ada sisi yang lain yang terlewatkan? Menyentuh Jiwa Benar, ada kebiasaan yang terlupakan, yang dianggap sepele, remeh tetapi memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik anak.yaitu mendongeng. Saat ini banyak orang tua yang memahami bahwa mendongeng merupakan kegiatan sia-sia dan membuang-buang waktu. 

Sebagian yang lain beropini anak-anak tidak tertarik. Tak heran jika peran dongeng saat ini digantikan oleh televisi yang sebenarnya tidak semua mengajarkan nilai-nilai positif bagi anak. Bahkan boleh dikatakan acara televisi saat ini lebih banyak muatan hiburan yang sesungguhnya tidak mendukung perkembangan perilaku positif anak atau cenderung membawa implikasi negative pada anak. Padahal bercerita pada anak-anak adalah sarana paling mujarab untuk merekatkan hubungan orang tua dan buah hatinya.

Di Indonesia, 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6 % di lingkungan sekolah dan 17,9% di lingkungan masyarakat. (Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi).  Salah satunya disebabkan oleh tidak adanya dongeng, orang tua sering kali melakukan komunikasi instruktif. Sebagai contoh ketika menyuruh anaknya belajar. " Intan, cepat belajar! Tidak naik kelas baru tahu rasa!". Intan tidak menggubris atau kalaupun pegang buku hanya sekedar menyenangkan hati orang tuanya. Hal itu terjadi karena ia tidak tahu manfaat belajar dan rasanya tidak naik kelas. Berbeda dengan kita melakukannya dengan bercerita yang akan menyentuh jiwa, akal dan fisiknya. Menyuruh bukanlah bentuk komunikasi efektif. Cara ini ditengarai sebagai penyebab minimnya generasi kreatif, sehingga banyak tenaga pesuruh (tukang) daripada tenaga ahli (kreatif).

Kegiatan mendongeng merupakan gaya komunikasi efektif untuk pendidikan dan nilai-nilai kebajikan. Mendongeng juga akan mengasah nilai kognitif, edukatif, dan emosi. Dalam dongeng diajarkan tata bahasa, yang akan menambah perbendaharaan kata, alur cerita, yang mengajarkan sistematika berpikir, emosi dan mengajarkan kesabaran dalam mendengar sampai selesai. Yang lebih hebat lagi, dongeng yang begitu berkesan akan menjadi platform bagi anak untuk menyusun masa depannya. Dimulai dengan berimajinasi, berpikir kreatif, rasa cinta, tanpa mereka sadari, kelak masa depannya akan fokus pada nilai-nilai yang mereka yakini.

Banyak sekali contoh orang sukses yang dapat menggapai mimpinya karena dongengan. Wright bersaudara menciptakan pesawat terbang, karena dongengan orang tuanya tentang kehebatan burung yang dapat melintasi samudera. Tokoh politik nasional Amien Rais tak pernah melupakan cerita Kancil Pilele dari ibundanya yang mengajarinya berbagai negosiasi, atau Andrea Hirata penulis novel best seller, anak buruh miskin yang tidak pernah membayangkan akan menempuh pendidikan di Universitas Sorbonne, Perancis karena gurunya selalu bercerita tentang keindahan kota tersebut. Ada beberapa unsur penting dalam memilih cerita :

Realistis

Hal -- hal yang tidak realistis tidak boleh diajarkan pada anak. Misal cerita-cerita yang berhubungan dengan keajaiban yang tidak masuk akal. Tas yang dapat mengeluarkan benda-benda ajaib. Berbeda dengan cerita imajinatif yang membuat anak berpikir kreatif untuk melakukan sesuatu. Bukan mengkhayal yang membayangkan cara mudah mendapatkan sesuatu. Cerita-cerita yang difilmkan di televisi-televisi sampai saat ini nampaknya yang telah menyebabkan munculnya generasi instan macam Nobita dengan Doraemonnya. Cerita realistis misalnya kekuatan angin yang dapat menggerakkan air atau musibah yang disebabkan oleh air atau api.

Tokoh-tokoh dengan karakter yang utuh.

Tokoh yang hanya menceritakan kecantikannya saja semacam Berbie, hanya akan membuat anak tergila-gila pada penampilan dan fesyen. Cerita yang utuh misalnya para penemu, para relawan, sahabat rasul dan sebagainya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline