Di era digital ini, media sosial telah menjadi ruang utama interaksi publik. Namun, di balik ramainya aktivitas online, sering kali muncul perdebatan seputar perilaku yang disebut "tone deaf."
Istilah ini mengacu pada ketidakpekaan seseorang terhadap perasaan atau situasi orang lain, terutama dalam konteks sosial yang sensitif.
Fenomena ini semakin sering terlihat di media sosial, di mana beberapa pengguna melontarkan pernyataan yang tidak tepat, dalam situasi yang tidak tepat dan berpotensi menyinggung pihak lain.
Tentunya, sikap tone deaf ini kebanyakan tidak disadari, alih-alih meminta maaf untuk memulihkan situasi sosial, justru banyak orang yang membela diri dan merasa benar.
Hal tersebut karena tone deaf dalam percakapan media sosial memang tidak tercipta begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh kombinasi beberapa indikator sebagai berikut.
1. Keterasingan Informasi (Filter Bubble)
Tidak bisa dipungkiri, bahwa banyak pengguna media sosial terjebak dalam "filter bubble," di mana algoritma menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi dan pandangan mereka.
Akibatnya, informasi yang berseberangan atau penting tentang situasi sosial-politik dapat terabaikan begitu saja. Sehingga keterasingan informasi inilah yang membuat masyarakat tidak menyadari peristiwa penting yang terjadi, meskipun aktif bersosial media.
2. Prioritas dan Kepentingan Pribadi
Isu sosial yang berkaitan dengan dengan politik dan hajat hidup banyak orang terkadang dianggap sebelah mata, bagi sebagian orang, justru kepentingan pribadi atau hobi lebih menarik.
Seperti dapat dibuktikan, banyaknya orang yang berbondong-bondong menikmati konten-konten ringan berupa trend viral dan gaya hidup, dibandingkan terlibat dalam diskusi politik yang cenderung berat, sehingga hal inilah yang menyebabkan tone deaf berpotensi terjadi.