Lihat ke Halaman Asli

Gen Z , Tantangan Generasi Sandwich Susah Cari Kerja

Diperbarui: 24 Mei 2024   05:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di tengah gembar-gembor Menuju Indonesia Emas 2045, pemerintah harus mengalami banyak tantangan mengenai problematika anak muda, yang sering disebut Gen Z. Bonus demografi nyatanya tidak sepenuhnya indah sebagaimana yang dibicarakan, tantangan yang harus dihadapi Gen Z semakin besar, seperti misalnya menjadi generasi sandwich dan susah mencari pekerjaan. Setidaknya dua masalah tersebut merupakan masalah yang paling krusial di antara generasi Z. Hal ini tentu selaras dengan agenda “Menuju Indonesia Emas” yang dicanangkan Indonesia.
Di lain hal, Gen Z acap kali dianggap sebagai generasi yang lemah karena tidak bisa berdamai dengan masalah yang dihadapi. Kondisi ini kian problematis ketika banyak orang membandingkan Gen Z dengan generasi-generasi sebelumnya yang dinilai beruntung. Di waktu yang sama, Generasi ini merupakan generasi paling canggih ketimbang generasi yang lain.

Lantas, bagaimana keterkaitan antara Gen Z dengan permasalahan yang mereka hadapi saat ini? Terutama di saat Indonesia gencar menyuarakan Bonus Demografi?
 
Hidup Mati Menjadi Generasi Sandwich

Salah satu fenomena yang sering diperbincangkan di antara kawula muda perkotaan dan arus media sosial adalah mengenai generasi Sandwich. Secara definisi yang dikutip dari laman Kompas, generasi sandwich dapat diartikan sebagai generasi produktif yang harus memikul beban ganda terutama di urusan finansial untuk orang tua, diri sendiri, dan anak.

Generasi sandwich merupakan tantangan Indonesia untuk mencapai bonus demografi, mengingat bahwa bonus demografi bisa terjadi ketika kelompok usia produktif lebih banyak ketimbang usia nonproduktif. Kondisi yang demikian tersebut tentunya menghambat laju generasi produktif, karena mereka harus berhadapan untuk mengurusi berbagai hal, mulai dari orang tua, pekerjaan di kantor, hingga mengurus anak.

Padahal, usia produktif merupakan usia optimal untuk mengembangkan diri demi membuat sebuah inovasi dan perubahan, agar mendapat hidup yang lebih layak. Sayangnya, hal tersebut tidak dapat terjadi jika kesehatan mental harus tergerus oleh permasalahan beban ganda yang harus dialami oleh generasi sandwich.
Kondisi semacam ini merupakan sebuah perpanjangan dari tradisi yang beracun dari generasi sebelumnya seperti misalnya baby boomer. Tradisi yang dimaksud adalah mengenai mitos “banyak anak banyak rezeki”, sehingga membuat generasi sebelumnya yang mengamini mitos teersebut, tidak pernah menyiapkan masa tua mereka. Mereka akan bergantung pada anaknya untuk menghidupi masa tua mereka, dengan alasan berbakti pada orang tua.
Acap kali, generasi sandwich hanya bisa terpaksa tunduk pada kompleksitas tuntutan tersebut, walaupun mereka sedang dihantam masalah ekonomi. Hal tersebut didasari pada data bahwa generasi sandwich seringkali dialami oleh masyarakat menengah ke bawah, dan masyarakat lapisan bawah.
 
Diterjang Kesulitan Mencari Kerja

Selain dipaksa menjadi generasi sandwich, masalah baru datang menerjang, yaitu isu mengenai sulitnya mencari pekerjaan. Tercatat bahwasanya di tahun 2023, sebanyak 3,8 juta Gen Z masih menganggur. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang mengerikan, jika dilihat dari tingkat kebutuhan yang semakin meningkat seiring waktu.

Ditambah lagi, peluang masuk pasar kerja formal menjadi semakin sulit. Hal tersebut terbukti dengan jumlah angka pekerja yang diserap di sektor formal terus mengalami penurunan selama 15 tahun terakhir. Di waktu yang sama, sektor pekerjaan informal merangkak naik.
Salah satu alasan yang terus menghantui adalah tuntutan kualifikasi lowongan pekerjaan yang semakin tidak masuk akal untuk dicapai. Dalam perputaran arus media sosial, jelas dapat ditemui kualifikasi lowongan kerja yang nyeleneh. Misalnya membutuhkan spesialis desain grafis namun dipaksa dapat mengoperasikan hal lain yang tidak sebidang dengan spesialisasi. Contoh yang lain adalah batas maksimal umur yang dinilai sangat bermasalah dan berbanding terbalik dengan negara-negara maju – yang bahkan memekerjakan para lansia.

Maka tidak dapat dipungkiri bahwa Gen Z terpaksa harus berjibaku untuk melamar pekerjaan, terutama bagi mereka yang fresh graduate, karena jelas semua orang paham bahwa kebutuhan terus melesat naik.
 
Menuju Indonesia (C)Emas?

Sebagaimana misi mencapai Indonesia Emas 2045, kita jelas sadar bahwa untuk menuju hal tersebut merupakan jerih payah yang susah. Bonus demografi bisa saja menjadi gagal, bukan karena Gen Z yang menjadi garda depan usia produktif ini bermental ‘tempe’, akan tetapi karena rintangan yang sukar untuk diatasi.
Di lain hal, pemerintah juga harus sadar akan permasalahan yang dihadapi oleh kawula muda. Memang, masalah-masalah tersebut cenderung dinilai sepele oleh generasi baby boomer, dengan anggapan bahwa Gen Z adalah generasi pemalas. Hal ini merupakan sebuah kesalahan yang besar.
Hal ini dikarenakan jika permasalahan yang telah disebutkan di atas terus dibiarkan maka pengabaian tersebut dapat berpotensi untuk menggugurkan potensi bonus demografi, bahkan misi pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia. Jika hal tersebut terjadi, maka kondisi Indonesia pasca bonus demografi akan berbalik ke arah kemunduran, terutama dalam aspek sumber daya manusia Indonesia.

Maka dari itu, permasalahan yang dihadapi oleh Gen Z harus diselesaikan dengan serius, agar upaya yang selama ini ditetapkan oleh Indonesia mengenai menuju 100 tahun merdeka atau menuju Indonesia Emas dapat berjalan lancar dan dapat membuat Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline