Lihat ke Halaman Asli

Kekerasan Seksual Semakin Merajalela, Pemerintah Tak Kunjung Mengesahkan RUU PKS!

Diperbarui: 10 Desember 2021   08:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

RUU PKS mempunyai perjalanan yang cukup panjang yang diusulkan sejak tahun 2012. Munculnya RUU PKS dikarenakan pada saat itu Komnas perempuan menilik Indonesia dalam situasi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan yang kian hari kian meningkat dan memprihatinkan. Berdasarkan data Komnas Perempuan mencatat bahwa angka kekerasan seksual meningkat dari tahun ke tahun. Jika dilihat pada tahun 2018 kasus kekerasan seksual sebanyak 406.178 kasus serta pada tahun 2019 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan semakin meningkat hingga 431.471 kasus. Kemudian banyaknya pengaduan dari para korban yang tidak tertangani dengan baik dikarenakan belum adanya hukum yang kuat yang dapat memahami dan memiliki substansi yang tepat terkait kekerasan seksual. Saat ini kasus kekerasan seksual yang terjadi pada masyarakat tidak lagi hanya terjadi pada orang dewasa saja, anak-anak di bawah umur pun sudah ada yang mendapatkan kekerasan seksual pada dirinya. Adanya RUU PKS ini agar melengkapi kekosongan hukum yang belum ada pada Kitab Hukum Acara Pidana (KUHP). Karena pada saat itu hanya terdapat hukum yang mengatur terkait perkosaan dan pencabulan saja. Dengan adanya RUU PKS bertujuan agar undang-undang ini menjadi sebuah upaya untuk lebih mendekatkan akses keadilan bagi korban, melalui suatu paradigma baru yang menjamin masyarakat bebas dari kekerasan seksual, dan menciptakan proses hukum yang dapat lebih merangkul korban dengan memperhatikan haknya. Melalui RUU PKS ini mengajak seluruh masyarakat agar mengenal lebih dalam bentuk-bentuk kekerasan atau eksploitasi seksual yang bahkan tidak disadari oleh korban jika hal tersebut merupakan jenis kekerasan seksual yang telah terjadi pada dirinya.

Pada akhir Maret 2021 RUU PKS telah kembali resmi masuk ke dalam Prolegnas, yang dimana sebelumnya RUU PKS merupakan salah satu dari 16 RUU yang sempat dikeluarkan atau dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020 pada awal Juli tahun 2020. Alasan dikeluarkannya pada saat itu bahwa pembahasan RUU PKS masih terbilang sulit, masih terdapat pro dan kontra pada undang-undang ini yang menimbulkan perdebatan mengenai judul RUU, definisi kekerasan seksual, serta ditemukan sejumlah pasal pemidanaan pada RUU PKS yang terkait dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR. Hal tersebut harus dikontrol bersama-sama agar RUU PKS tidak lagi dikeluarkan dari Prolegnas. Menilik jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia yang masih terbilang tinggi. Urgentsinya hingga pada hari ini pun masih banyak sekali kasus kekerasan seksual yang terjadi. Seperti yang marak diperbincangkan, salah satu Polisi RB yang memperkosa mahasiswi NWR, seorang ibu yang diperkosa oleh 4 pria secara bergantian, guru pesantren di Bandung yang memperkosa 12 santri, bahkan mirisnya seorang anak kecil yang masih sangat polos dicabuli oleh seorang kakek, (sumber Instagram). Tanpa di sadari pelaku kekerasan seksual biasanya terjadi dari lingkungan sekitar kita sendiri seperti oknum sekawan, guru, dosen, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti itu lah yang membuat para korban takut untuk speak up terkait dengan kekerasan yang telah dilakukan oleh para oknum dan lebih memilih bungkam dengan apa yang telah terjadi pada dirinya. Terlebih lagi kurangnya perlindungan hukum di negara Indonesia yang membuat para korban semakin takut untuk speak up terkait dengan kekerasan seksual yang dialaminya. Dan membuat beberapa korban hanya mengandalkan media sosial sebagai wadah untuk speak up dari kasus traumatis yang dialaminya. RUU PKS yang belum juga disahkan menimbulkan kegelisahan dari berbagai pihak, khususnya para penyintas kasus kekerasan seksual.

Untuk itu RUU PKS penting agar segera disahkan. Karena RUU ini nantinya akan mengakomodasi kejahatan kekerasan seksual secara lebih spesifik. RUU PKS akan lebih memenuhi kebutuhan dalam lingkup kekerasan seksual yang belum terpenuhi kebutuhannya pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika hanya KUHP saja tidak akan dapat mengakomodir sepenuhnya kasus tersebut dikarenakan kekerasan seksual yang ada pada masyarakat berkembang lebih cepat serta payung hukum di Indonesia masih terbilang lemah. Dan agar para pelaku yang selama ini dapat lolos dari jeratan hukum karena tidak adanya undang-undang yang memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana KUHP tidak lagi terjadi. Dan keluarga korban ataupun saksi dalam kasus kekerasan seksual dapat berani speak up mengenai hal tersebut. Dan RUU ini bukan hanya untuk melindungi korban saja, tetapi juga akan memberikan perlindungan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin mengutarakan kesaksian mereka selama proses hukum. Selain itu, RUU PKS ini penting untuk didukung sebab adanya unsur rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual. Yang dimana rehabilitasi merupakan bentuk dari pemidanaan yang tujuannya untuk pemulihan atau pengobatan pada seseorang untuk mencegah agar tindakan kekerasan seksual tidak lagi terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline