Cunca Rami, sangat awam namanya bagi kami, ketika pertama kali menginjakkan kami di Bumi Flores. Hanya sedikit ingatan dari bentuknya yang didapat dari liputan siaran televisi, artikel traveling online dan katalog-katalog traveling yang ada di memori otak kala itu. Kami harus bersabar, menanti hingga pekerjaan menyusuri Flores Timur hingga ke Manggarai Barat selesai untuk bisa menyambangi tempat indah di bumi Flores ini. Hingga akhirnya menjadi sebuah keberuntungan bisa menyambangi dan menikmati salah satu anugrah ciptaan Tuhan. Kami berempat bertugas di wilayah Mbeliling-Sanonggoang, Saya, Rizki, Arfi & Arvin. Sudah lama tak tergabung bertugas bersama, kami segera mencari obyek wisata pada daerah yang kami tuju. Danau Mbeliling, Cunca Rami & Cunca Wulang menjadi bidikan kami.
Setelah menyasar Cunca Rami di hari pertama, Cunca Wulang kami targetkan di hari kedua, dengan catatan setelah pekerjaan selesai. Di hari pertama kami sudah berkunjung ke Desa Cunca Wulang, dan pekerjaan di sana sudah selesai. Di hari kedua, untuk mempermudah langkah dan mendapatkan info yang jelas kami menuju ke kantor camat bertemu Pak Camat. Meski tidak ada urusan kerja namun dengan membawa surat sakti, kami bermaksud sekedar berbincang. Kami diterima Pak Fran Selatan setelah menunggu sepiluh menit, lalu memmulai obrolan santai tapi sopan. Setelah beberapa menit berbincang, Pak Camat memulai obrolan lebih tepat lagi 'curhat' dengan nada agak menyalahkan pemerintah pusat tapi kami yang menjadi sasaran. Keadaan sedikit memanas, kami coba persuasif dan hati-hati. Bahkan Pak Frans sempat mengambil foto kami dengan HPnya, lalu saya membalas dengan mengambil gambar bersama dengan HP dan kamera. Akhirnya dengan cara persuasif keadaan mendingin dan Pak Frans memberikan informasi tentang daerah yang dipimpinnya, bahkan dia mempersilahkan kami mencari warga sekitar untuk mengantar menuju Cunca Wulang yang harus berjalan lagi kurang lebih satu jam menyusuri hutan desa.
Perjalanan ke Cunca Wulang, yang terletak di desa Cunca Wulang, Kecamatan Sanonggoang, Kabupaten Manggarai Barat. Desa Cunca Wulang merupakan Ibu Kota Kecamatan Sanonggoang, sebagai itu kota kecamatan jangan kita berpikir sebagai tempat yang aksesnya mulus dan gampang atau kita samakan dengan ibu kota kecamatan seperti yang ada di pulau Jawa. Tidak! meski terbilang baru setelah pemekaran dari Kabupaten Mbeliling, tak ada sedikit perubahan mendasar yang terjadi di kecamatan ini khususnya Cunca Wulang yang berstatus sebagai ibu kota. Bisa dibilang sebuah petualangan singkat, jika kita dari arah Kecamatan Komodo, Labuan Bajo kita akan belok kiri menuruni beberapa meter jalan yang terletak di atas peunggungan bukit. Jalan berukuran satu mobil itu menurun curam dan berbelok-belok, kita akan disajikan dengan pemandangan lebatnya hamparan hutan di wilayah Sanonggoang yang masih sangat lebat.
Batu-batu berbentuk kolam dialiran bagian bawah
Setelah menyusuri jalanan semi pemanen di punggungan bukit, tantangan selanjutnya adalah jalan datar di tengah perkebungan masyarakat yang membutuhkan tenaga lebih untuk dilalui. Sesekali kita akan dibuat kaget oleh lubang yang mengganga akibat longsoran, atau genangan air. Dapat kita bayangkan jalan pengerasan batu hanya cukup untuk satu mobil pakai berlubang segala, apa jadinya arus transportasi pada masyarakat di sana. Alat transportasi di wilayah Sanonggoang mayoritas menggunakan sepeda motor, untuk transportasi umum bisa menggunakan ojek yang harganya lebih mahal dari harga tiket feri Labuan Bajo-Sape, namun ada juga kendaraan roda empat, yaitu truk yang disulap menjadi transportasi masal dengan menambahkan kursi dan penutup yang dibuat menyerupai semacam tenda hajatan pada bagian atas, tarif alat transportasi ini cukup terjangkau bagi masyarakat, tergantung jarak yang ditempuh, namun hanya ada dua kali dalam satu hari.
Ketika melintasi jalanan disekitar perkebunan itu, beberapa kali kami hampir terjatuh karena jalanan batu yang berlubang ditutupi oleh serbuk gergaji yang sudah basah sehingga membuat jalan licin. Belum lagi ada bagian jalan yang agak menanjak, dan terputus oleh aliran sungai selebar kurang lebih tiga meter. Oleh masyarakat aliran tersebut ditutupi dengan batu-batu besar pada bagian bawah dan batu kecil pada bagian atas untuk sedikit meratakan, lalu ditutupi dengan sebuk kayu. Di posisi inilah yang harus membuat pengendara mengantri, melewati satu persatu. Sebagai pemula, kami beberapa kali mempersilahkan orang kampung sana untuk duluan, lalu kami mengikuti dari belakang. Di situ pula ada seorang warga yang beriringan bersama kami, berujar ketika melihat kamera yang saya nyalakan "Pak, ambil foto yang banyak pak, dari samua sudut pak, nanti bapak bawa pulang ke Jakarta kasi tunjuk kalo ketemu pejabat begini ibu kota kecamata" ujarnya. Ia tampak emosianal dan sangat kesal bertahun-tahun, setiap hari melewati jalanan seperti itu.
Arvin loncat dari 'jump spot' Setelah sekitar saatu kilo meter lagi menuju desa, kami mendapatkan mobil pengantar turis asing yang memarkirkan mobilnya dan melanjutkan perjalanan berjalan kaki, ada pula sekelompok gadis-gadis bali yang tracking sebelum memasuki desa. Hari itu Kami menghubungi Pak Calis yang sedang menjemur handuk, Ia baru saja mandi, sepulang mengantar pengunjung ke Cunca Wulang. Namun setelah kami bilang kami disuruh Pak Camat mencari pengantar ke Cunca Wulang, Ia langsung menyanggupi untuk jadi pengantar ke Cunca (air terjun). Di situ awal perkenalan kami dengan Pak Calis, pria 35 tahunan asli kampung Cunca Wulang ini banyak menjelaskan keadaaan kampung dan masyarakat. Perjalanan kami mulai dengan menyusuri jalur diseberang jalan Kantor Camat, kami menggunakan sepeda motor hingga berhenti dan memarkir di sebuah bale-bale warga di pinggir jalan karena jalan yang benar-benar tak bisa di lalui oleh kendaraan. Kami berjalan memasuki hutan desa yang masih terjada dengan vegetasi yang sangat beragam. "Masyarakat di sini cuma ambil sedikit-sedikit pohon-pohon dari hutan, tidak boleh sembarangan harus bilang dulu sama ketua adat di sini" ujar Pak Calis. Kearifan lokal masyarakat dalam menjaga alam sangat bijaksana. Kebutuhan kayu khususnya di daerah pariwisata seperti Flores, tidak membuat mereka gelap mata untuk memberangus hasil alam dari hutan kampung. Mereka masih memikirkan nasip generasi setelah mereka yang tentu saja sama-sama memerlukan adanya hutan. Istirahat sejanak Jalan setapak menanjak, meurun, berlompat dari atas batang pohon yang tumbang, menghindar dari dahan dan ranting pohon cukup menguras tenaga. Hari itu masih sekitar pukul 10.00 pagi, tapi panyas matahari cukup terik. Beruntung kami membawa perbekalan air. Setelah berjalan sekitar setengah jam, akhirnya kami semakin dekat dengan aliran sungai Cunca Wulang, berjalan terus menyusuri aliran sungai hingga tiba di lokasi Cunca Wulang. Kami di sambut oleh suara-suara burung yang bersahut-sahutan, lalu kami menyusuri batu-batu yang berbentuk kolan-kolam pemandian yang juga menjadi aliran air. Beruntung, beberapa hari sebelumnya cuaca sangat bersahabat sehingga debit air tidak meninggkat dan air tetap jernih ketika kami berkunjung. Indahnya batu-batu yang diukir oleh alam disepanjang aliran Cunca Wulang meyakinkan bahwa pantas saja jika air terjun ini harum namanya hingga ke luar negeri. Untuk melihat Air terjun Cunca Wulang bukan perkara gampang, air terjun ini terhimpit oleh batu dari sisi kanan dan kiri. Air terjun akan terlihat jika kita berenang di kolah aliran dan mendekat ke dalam dan mungkin saja kita akan dilarang oleh para pemandu lokal, karena ditakuti debih air bisa saja meningkat secara mendadak dan menimbulkan arus deras. Untuk tempat bersantai seakan disediakan oleh alam, di sisi sebelah kiri ada tebing-tebing yang pada bagian tasnya rata seperti lantai, bagian itulah yang di jadikan tempat bersantai atau istirahat para pengunjung. Kami segera bergabung dengan pengunjung lainnya, kebetulan rombongan gadis-gadis dari Bali yang kami temui meminta air kepada kami sehingga kami saling berkenalan. Arvin, Rizky, Arfi Saatnya melompat! Pada bagian terdalam tebing yang rata tersebut ada semacam 'jump spot' karena posisinya yang tidak memungkinkan kita terbentur pada tebing. Setelah mengganti pakaian, kami berempat berjajar pada jump spot untuk melompat dari ketinggian sekitar 20 meter. Kami berempat mulai berhitung 1, 2, 3 dan dimulai dari Arvin, Lalu, Rizky, Saya dan di tutup oleh Arvi. Woow, sensasi tersendiri melompat dari ketinggian dan langsung mendarat ke dalam air Cunca Wulang yang segar dan alami tak terkontaminasi serasa jantung masih tertinggal di atas namun badan sudah tercebut di air. Lalu kami berenang menikmati keindahan Cunca Wulang, mengelilingi dinding-dinding tebing yang menjulang setinggi 60 meter, melepas kepenatan mengendarai motor berhari-hari menelusuri daratan Flores memasuki desa-desa lebih dari 500 desa. Uniknya lagi air warga desa pun hingga kini tidak ada yang mengetahui seberapa dalam kolam alami Cunca Wulang ini. Setelah puas berendam, waktu sudah menunjuki pukul 12.00 kami segera beranjak, mengganti pakaian dan menyusuri track untuk menuju kembali ke desa. Setelah tiba di perkampungan ternyata Pak Chalis yang mengantarkan kami menyuguhkan gelas-gelas kopi hitam khas Flores untuk kami berempat. Kami menunda untuk beranjak dan menikmati kopi Flores, di saat itupula warga mulai berdatangan menyalami kami dan ikut bergabung di halaman rumah Pak Chalis tepat di bawah pohon rindang. Suasana semakin hangat ketika obrolan di antara warga dan kami mulai terbuka diselingi canda-tawa bahagia dan polos mereka. Mereka menceritakan keadaan masyarakat, sarana dan prasarana, pendidikan hingga kunjungan rutin Mahasiswa-mahasiswa salah satu universitas negeri di Jogjakarta yang melakukan program KKN di desa Cunca Wulang.
"Kami disini senang kalau banayak tamu datang mandi-mandi ke cunca, bisa tambah-tambah penghasilan masyarakat yang antar-antar tamu di sini. Biar tidak lancar bahasa Inggris yang penting bisa komunikasi sedikit-sedikit asal tamu senang, dan banyak yang datang. Kalau adik-adik bisa bahasa Inggris boleh datang lagi nanti, ajar anak-anak disini bahasa asing biar bisa bicara dengan turis-turis" kata Ayah dari Pak Chalis. Yah, sebuah basa-basi tawaran dari mereka yang menginginkan perubahan di desa mereka. Apa lagi ketika kawan-kawan memberitahu jika saya pernah menjadi guide untuk turis Prancis. Mereka sempat menawarkan untuk tinggal di rumah warga, dan bisa memberikan les gratis kepada pemuda-pemuda desa. Andai saja saya sistem perkuliahan memungkinkan saya jadi sarjan tepat waktu mungkin tanpa pikir panjang saya akan terima tawaran tersebut, sayang sekali terbentur masalah usia :) . Ada skala prioritas yang harus saya utamakan.
"Beginilah desa kami, jauh dari mana-mana, jalan rusak seperti mau pergi kebun saja. Batu-batu besar, batang pohon kelapa, kadang-kadang jadi sungai jalan raya ke desa ini padahal ini ibu kota kecamatan dik". Apalagi kalau bilang listrik, kami belum dapat fasilitas listrik yang layak, kami pakai lampu dari solar pannel saja sudah cukup untuk kami. Adik-adik bisa bayangkan sekarang saja seperti ini, bagaimana zaman saya muda dulu, atau zaman orang tua dulu, sudah 68 tahun Indonesia merdeka, tapi hanya di kota-kota saja yang merdeka, kami disini belum merdeka. Mungkin teriakan "Merdeka" hanya ketika perjuangan lawang penjajah dulu saja". Jelas Bapak Tua itu.
Setelah menunda hingga pukul 14.00 akhirnya kami bertukar kontak dengan Pak Clias, lalu menyelipkan selembar uang untuk bayara menghartar kami ke Cunca, yang sebenarnya di tolak oleh Pak Calis tapi kami berempat memaksanya. Setelah berpamitan kami segera beranjak melanjutkan tugas menuju kecamatan Lembor. Sampai jumpa desa Cunca Wulang yang polos! au revoir..
Sumber: (click here)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H