Lihat ke Halaman Asli

Hak Pembaca Anak

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Bacalah atas namu Rabmu yang menciptakan!" (Q.S: Al-Alaq:1).Adalah perintah pertama yang diturunkan oleh sang Pencipta melalui utusan-Nya Muhammad s.a.w untuk disampaikan kepada umat manusia, sebagai pedoman menjalani kehidupan. Membaca kebesaran Sang Pencipta, membaca apa yang mereka lihat, mengetahui, memahami, menganalisa, dan mencari sebab-akibat dan manfaat yang terjadi dimuka bumi ini untuk hidupan manusia yang sejahtera, adil dan makmur. Menengok ke bangsa Indonesia tercinta, kutipan berikut sangat cocok:

Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.” - Milan Kundera

Hal ini tidak lepas dari perkembangan dunia informasi saat ini, kemampuan untuk mengakses informasi memang belum 100% terpenuhi, tapi hal tersebut bukan hal yang utama. Kemauan yang mendasari sebuah aksi adalah yang utama untuk mendapatkan informasi yang saat ini bukan barang langka, bahkan bisa dikatakan bahwa, informasi telah menjadi kebutuhan primer. Realitanya saat ini istilah buta huruf bukan hanya untuk yang tidak bisa membaca, namun bisa saja bagi yang tidak mampu mengakses informasi.

Sebagai sumber informasi dini, buku adalah santapan segar untuk menghilangkan rasa lapar dan haus akan pengetahuan atau informasi. Buku yang dapat memberikan berbagai sumber informasi kepada kita, tidak berarti apa-apa jika tidak ada yang membacanya. Sehingga kita kembalikan siapakan yang ini maju? siapakah yang ingin berkembang? siapakan yang ini beradab? dan siapakan yang ingin terus melangsungkan peradaban? Yah tentu, kita semua berkeinginan.

Reading brings us unknown friends
— Honoré de Balzac

Dalam konteks membaca dan pembaca, kita akan menemukan masalah minat baca atau budaya membaca. Khususnya pada masayarakat kita, mungkin dari lingkup terkecil dari keluarga kita sendiri. Beruntunglah jika anda memiliki keluarga yang memiliki minat baca tinggi, yang bisanya berasal dari keluarga yang mampu secara ekonomi. Namun tidak menutup kemungkinan keluarga yang pas-pasan pun mampu menumbuhkan minat baca dalam keluarganya, walaupun bisa menggangu "kebulnya dapur" untuk menyisihkan keuangan pribadi. Cara lain yaitu dengan mengakses perpustakaan di sekitar tempat tinggal, baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum. Dengan meningkatnya minat baca atau dengan tumbuhnya budaya baca keluarga kita khususnya anak-anak usia sekolah, berarti kita mulai membuka gerbang dunia untuk mereka, kita mulai memberikan sedikit bekal untuk mereka menjelajahi cakrawala bumi.

Karena setiap lembarnya, mengalir berjuta cahaya, karena setiap aksara membuka jendela dunia.”

Cholil ERK

Untuk menumbuhkan budaya baca khususnya minat baca anak sejak dini, memerlukan sebuah proses pembiasaan. Kita bisa menerapkan langkah-langkah berikut yang dikutip dari forum.kompas.com untuk menumbuhkan minat baca anak di usia dini:

1.Adakan kegiatan rutin membaca bersama di rumah. Kegiatan ini jika dilakukan secara teratur dapat menumbuhkan kebiasaan membaca anak dan mempererat kebersamaan dalam keluarga.

2.Membacakan cerita sebelum tidur, untuk merangsang minat baca anak, khususnya bagi anak-anak yang belum biasa membaca sendiri. Isi cerita yang menarik akan merangsang imajinasi anak sehingga mereka akan menyukai membaca buku.

3.Variasikan jenis buku bacaan anak sehingga anak tidak bosan dan selalu mendapat hal baru dari buku yang dibacanya. Orangtua dapat memberikan buku bacaan yang bervariasi seperti cerita fiksi, cerita ilmiah, ensiklopedia bergambar untuk anak, komik maupun majalah anak, dll. Hal ini dilakukan agar si anak tidak bosan dan selalu mendapat hal baru dari buku yang dibaca. Anda juga dapat menemukan minat anak pada bidang tertentu dengan mengamati buku jenis apa yang menjadi kegemarannya.

4.Ajak anak belanja buku di toko buku. Berilah kebebasan pada anak untuk memilih buku yang ia sukai sehingga mereka antusias menjalani aktivitas ini.

5.Jika koleksi buku anak sudah mulai banyak, ajak anak untuk membuat perpustakaannya sendiri. Hal ini dapat menumbuhkan kebanggaan tersendiri bagi anak sekaligus mengajarkan ia mengorganisir buku yang dimilikinya.

Setelah itu semua terwujud, maka harapan besar untuk memiliki masyarakat yang gemar dan memiliki budaya membaca akan nyata adanya. Kita akan memiliki masyarakat yang beradab dan berperadapan tinggi mungkin bukan sekedar mimpi. Bukankah kita semua sudah muak dengan keadaan bangsa dan negara kita tercinta dengan informasi negatif yang menutupi jutaan fakta positif negera ini? Untuk itu salah satu alternatif untuk sebuah masa depan yang lebih baik adalah memberikan "Keadilan Membaca Bagi Seluruh Anak Indonesia".

To learn to read is to light a fire; every syllable that is spelled out is a spark
— Victor Hugo

Bercermin dari kedaan IndeksPembangunan Pendidikan yang dikeluarkan UNESCO, dilansir republika.com, Indonesia berada pada posisi 69 dari 127 negara didunia, bisa diasumsikan bahwa 0,001 atau satu dari seribu penduduk Indonesia yang memiliki minat baca tinggi. Belum lagi jika dilihat dari data-data lain berikut:


  1. Berdasarkan  data Bank Dunia Nomor 16369-IND dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achicievement), untuk kawasan Asia Timur, Indonesia memegang posisi terendah dengan skor 51,7, dibawah Filipina (skor 52,6), Thailand (skor 65,1), Singapura (skor 74,0) dan Hongkong (skor 75,5). Data lainnya dari UNDP,angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan, Malaysia sudah mencapai 86,4 persen.
  2. Pada tahun 1991 berdasarkan laporan International Association for Evaluation of Educational dalam sebuah studi kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar kelas IV di 30 negara dunia, Indonesia menempati urutan ke-29 setingkat di atas Venezuela. Bagaimana dengan buku kurikulum?
  3. Pada tahun 1992 hasil survei UNESCO menyebutkan, tingkat minat baca rakyat Indonesia menempati urutan 27 dari 32 negara.
  4. Pada tahun 1995 berdasarkan survei Departemen Pendidikan Nasional, sebanyak 57% pembaca dinilai hanya sekadar membaca tanpa memahami dan menghayati apa yang dibaca.
  5. Pada tahun 1998 berdasarkan studi dari Vincent Greannary yang dikutip oleh World Bank dalam sebuah Laporan bertajuk : Education in Indonesia from Crisis to Recovery” menunjukan,kemampuan membaca anak-anak kelas VI sekolah dasar Indonesia, hanya meraih nilai akhir 51,7%, Filipina 52,6%  Thailand 65,1%, Singapura 74,0% dan Hongkong 75,5%.
  6. Pada tahun 2002, Penelitian Human Development Index (HDI) yang dirilis UNDP menyebutkan, melek huruf Indonesia berada di posisi 110 dari 173 negara. Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009.
  7. Pada tahun 2003 berdasarkan laporan UNDP, Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks) menempati urutan yang ke 112 dari 174 negara di dunia. Sedangkan, Vietnam menempati urutan ke 109. Padahal, negara tersebut saat itu baru keluar dari konflik politik yang cukup besar.
  8. Pada tahun 2006 berdasarkan studi lima tahunan bertajuk Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD), Indonesia  menempati posisi 36 dari 40 negara.
  9. Pada tahun 2006 berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukan, masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%), mendengarkan radio (40,3%) dari pada membaca koran (23,5%).
  10. Pada tahun 2009 berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.
  11. Pada tahun 2012 Indonesia nangkring di posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan ‘melek huruf’. Indonesia sebagai Negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang. (Sehabuddin, www.kompasiana.com/123seha,OPINI, 06 April 2013)

Menyedihkan bukan? padahal Pak Presiden yang terhormat juga sudah menggulirkan program mobil perpustakaan keliling, untuk memberikan akses perpustakaan untuk daerah-daerah yang belum memiliki perpustakaan. Namun program pemerintah selayaknya program yang lain yang kurang maksimal, bahkan sering sekali saya menemukan mobil perpustakaan keliling tersebut lebih tampak seperti mobil pribadi.

Namun, saya sangat optimis dengan munculnya gerakan-gerakan independent melalui komunitas-komunitas belajar ataupun komunitas kreatif, yang memberikan akses perpustakaan bagi daerah-daerah terpencil di seluruh pelosok Negeri ini. Dengan mengusung semangat perubahan dan kreatifitas belajar, bermain bersama, mampu menghapus stigma belajar yang "menakutkan" seperti sekolah formal dan dengan penuh keceriaan membuat buku menjadi teman yang mereka takut akan kehilangannya.

Saya yakin gerakan-gerakan ini akan sangat membantu dalam menimbulkan minat baca, untuk menumbuhkan budaya membaca masyarakat, sehingga kita mampu setara, bahkan mengungguli negara-negara maju yang memiliki ukuran-ukuran keunggulan secara fakta maupun data. Setidaknya kita mampu memberikan hak baca anak-anak yang kurang beruntung, sebagai bentuk "Keadilan Membaca Bagi Seluruh Anak Indonesia". Berbagi untuk perubahan demi kemajuan bersama dalam bentuk sekecil apapun.

There is no friend as loyal as a book.”
– Ernest Hemingway

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline