Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Satu Tahun Jokowi, Masihkah Kami Disebut "Haters"?

Diperbarui: 20 Oktober 2020   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: dumblittleman.com

Apapun yang Jokowi lakukan adalah SALAH. Itu yang mungkin secara inkladestin tertanam di kepala haters. Sebuah produk Pilpres tahun lalu yang mungkin masuk ke dalam ranah alam bawah sadar. 

Hasil tempaan proses militansi propaganda ala kelompok ekslusif, haters bermetamorfosis. Ada yang menyebut barisan sakit hati, atau gagal move-on, pola pikir membenci Presiden tetap mereka lakui. 

Mungkin ada yang berasal dari hardliner awal PIlpres 2014 yang memang 'benci' Jokowi. Ada pula yang selama satu tahun kecewa, lalu berbalik membenci Jokowi. Atau ada pula yang terhanyut dalam tingkah laku dan pola pikir haters. Yang ia sebelumnya berpandangan netral atau biasa saja.

Seperti metamorfosa, haters pun berubah. Satu tahun menyimpan dan menyekap kebencian dalam hati dan pikiran tentunya sebuah hal yang luar biasa. Sebuah proses 365 hari yang saya kira melelahkan. Mungkin juga menguras energi dan perasaan. 

Saat agama saya menganjurkan untuk berbaikan dengan orang yang kita tidak suka cukup 3 hari saja, bagaimana bisa sampai 1 tahun? Seperti seorang peneliti perilaku pada sekelompok orang, setiap indikasi dari deviasi akan dijabarkan dengan teliti. 

Begitupun setiap tingkah polah dan ucapan sang Presiden kita sekarang. Dari mulai jas yang dirasa tidak benar memakainya. Sampai meragukan ucapan menolak RUU KPK. Ada saja yang dirasa kuirang sreg dengan hati dan pikiran mereka.

Mungkin sisi psikologis haters sudah gelap mata pada Jokowi. Persepsi distopia akan keterpurukan Indonesia semakin di depan mata. Atau mungkin tepat di depan pintu rumah mereka. 1 tahun saja Indonesia sudah hancur dan amburadul sedemikian rupa. 

Bagaimana sisi 4 tahun ke depan? Mau bermanuver apalagi si Cina Komunis? Gelagat apalagi yang mau si kurus Herbertus ini lakui? Tanpa perlu dikomandoi propaganda, pikiran benci seolah menjadi otomatis. 

Semua karena latihan yang mereka sudah lakukan pra dan paska Pilpres. Ucapan, data dan fakta yang diucapkan dulu begitu tertanam. Sehingga seolah Jokowi adalah musuh besar. Dan yang benar dan haq adalah apa yang berasal dari ucapan oknum yang begitu eksklusif buat mereka. Sebuah a fortiori argument.

Dan semakin kuta jika sudah dicampur baur dengan sisi agama. Membaurnya politik praktis, kepentingan golongan, dan agama menjadi semen penguat rasa benci tadi. 

Saat agama bermain dalam propaganda, logika, rasa, dan rasa bersaudara sebagai bangsa hilang. Apriori adalah perspektif mereka. Karena ucapan benci dan fakta dari sang petinggi agama adalah benar adanya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline