Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Bahaya-Bahaya Tersembunyi Sharenting

Diperbarui: 28 Januari 2025   23:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eye on Paper (Timi Keszthelyi, sumber: pexels.com)

Menyoal sharenting sendiri pernah saya tulis disini. Ada sisi positif dan negatif yang dirasakan langsung atau tidak langsung orangtua. Sharenting pun menjadi opsi dari orangtua itu sendiri. Bijak atau tidaknya sharenting pun membutuhkan diskusi dan negosiasi. Namun belum banyak orangtua paham bahaya terselubung sharenting.

Sosial media kini sudah menjadi sumber informasi utama. Informasi pun berkelindan dan berpacu cepat dan real-time. Informasi pribadi dan tragedi sosial adalah bahan bakar linimasa. Konten pribadi, mulai dari anggota keluarga sampai tempat kerja makanan sehari-hari. Foto dan video anak sendiri atau orang lain juga dieksploitasi demi impresi.

Setidaknya sharenting memberikan beberapa dampak tak kasat mata. Pertama, foto dan video anak dan keluarga menjadi bahan bakar big data. Konten anak menjadi sumber utama AI untuk dipelajari. Limpahan foto dan video anak menjadi data economy saat bergerak bebas di 'pasar' internet. 

Akses ilegal terhadap metadata anak yang diunggah di linimasa menjadi dampak inklandestin. Orang tua yang tidak sadar akan tiap pixel foto dan video anak terunggah, menjadi komoditas data ilegal. Foto anak yang diposting dari usia dini hingga sekolah bukan tidak mungkin digunakan pengepul (scrapper) data ilegal internet.

Mungkin dampaknya tidak dirasakan atau dilihat. Karena foto perkembangan anak bisa saja diolah menjadi produk berbeda. Saat AI mempelajari data dari sharenting, mereka memahami data. Dalam mesin chat atau image generator, pengetahuan dan imaji anak pun diciptakan dari limpahan data anak yang diunggah.

Kedua, ada potensi terjadi turbulensi hubungan dan komunikasi antara anak dan orangtua. Sharenting umumnya ditentukan dan dilakukan oleh orang tua. Sejak dari foto USG sampai anak memakai seragam SD, semua atas kuasa orangtua. Anak pun menjadi objek sekaligus objetifikasi orangtua. Anak seringkali tidak diajak untuk berdiskusi apalagi dimintai izin berbagi imaji diri.

Anak penurut bagi banyak orang tua mungkin dirasa normal. Namun bukan berarti anak sejak usia dini tidak memiliki logika untuk memilih. Kuasa atas tubuh, imaji, dan perasaan anak banyak diabaikan dalam sharenting. Entah anak senang atau sedih tidak penting, selama orang tua punya ingin dan kuasa berbagi konten anaknya. 

Ketiga, orangtua juga tidak paham privasi. Orangtua atau anggota keluarga mayoritas tidak peduli privasi. Apalagi terkait privasi anaknya sendiri. Sharenting yang menjadi aktivitas yang normal di media sosial, mengubur lebih jauh pemaknaan dan aktualisasi privasi. Jika yang lain berbagi konten anaknya, kenapa saya memilih tidak melakukannya?

Privasi masih menjadi isu elit dan abnormal. Bagi orang yang memilih menjadi privasi anak, seringkali dianggap sombong. Pun ada adagium, kalau tidak salah mengapa perlu disembunyikan? Yang sejatinya kurang tepat dalam konteks privasi. Privasi selain melindungi sesuatu yang personal, ia juga adalah negosiasi pilihan yang berkesadaran.

Karena foto dan video anak yang beredar di linimasa seringkali disalahguna. Maka pencegahan dengan memilih secara sadar membatasi sharenting adalah hak orangtua. Bukan untuk bersembunyi, tetapi mencegah dampak digital yang juga begitu subtil. Bukan masalah seseorang terkenal atau orang biasa. Tapi eksploitasi data sudah kian masif dan tak terdeteksi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline