Buzzer seolah menjadi entitas subtil tapi ada. Mereka ada tapi tidak ada yang mau mengaku. Mereka sebagai mata pencaharian. Tetapi tidak ada yang mencantumkan pekerjaan ini di portfolio. Buzzer dan kampanye politik beroperasi di sisi gelap sosial media dan grup aplikasi chat.
Istilah buzzer politik lekat mengacu pada individu atau kelompok yang menyebarkan informasi atau opini di medsos. Agendanya untuk mempromosikan atau menyerang pihak politik tertentu.
Beberapa bermotif komersial untuk mendapat bayaran dari pihak tertentu. Walau ada juga motif sukarela karena dorongan ideologi atau loyalitas terhadap pihak yang didukung.
Buzzer berbayar oleh satu atau dua pihak sekaligus, jelas sudah culas. Tapi tetap saja, kampanye politik dengan buzzer tidaklah etis dan relevan di Pemilu 2024. Buzzer menjadi komoditi politik untuk menyebarkan propaganda, mendiskreditkan lawan politik. Beberapa jelas ingin memecah-belah publik.
Seiring berjalannya waktu, netizen sudah kian cerdas sekaligus jengah pada buzzer politik. Keefektifan buzzer politik pun patut dipertanyakan. Beberapa indikasi bahwa kampanye politik dengan buzzer tidaklah efektif atau usang antara lain:
- Buzzer politik sering dengan sengaja atau terjebak menyebarkan hoaks, framing, dan fitnah. Sehingga mereka merusak kredibilitas pihak yang membayar. Publik pun menjadi kian skeptis dan apatis.
- Buzzer politik biasa menggunakan bahasa yang provokatif, menyerang, atau menjelek-jelekkan lawan politik. Netizen dibuat muak dengan perdebatan yang tidak produktif dan tidak sehat di medsos.
- Buzzer politik minim kemampuan menjawab pertanyaan kritis. Karena publik membutuhkan penjelasan lebih lanjut tentang isu-isu politik aktual dan mendesak. Buzzer pun gagal membentuk opini publik yang positif.
- Buzzer politik tidak memiliki jaringan sosial yang luas dan beragam. Mereka hanya mampu menjangkau kelompok tertentu dan homogen atau sudah memiliki pandangan serupa. Hal ini membuat perspektif pada kelompok lain sulit berubah.
Dari indikasi usangnya buzzer politik di atas jelas didasarkan pada daya rusak buzzer itu sendiri. Pertama, kampanye politik menggunakan buzzer jelas melanggar prinsip demokrasi. Dengan model kampanye sesat, buzzer tidak menghargai kebebasan berpendapat, keterbukaan informasi, dan partisipasi publik.
Buzzer pun lekat citranya dengan pengaburan fakta. Seringkali dengan membungkam trending, mereka menghalangi publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan objektif. Buzzer telah mereduksi kekuatan demokrasi dengan provokasi, penurunan tingkat kepercayaan terhadap media, dan pelemahan kontrol sosial.
Kedua, kampanye politik dengan buzzer merugikan Capres, Caleg atau parpol itu sendiri. Buzzer membawa citra negatif bagi kandidat dalam politik. Sehingga yang menggunakan jasa buzzer dianggap tidak jujur, tidak transparan, dan tidak bertanggung jawab.
Efek bumerang buzzer dengan opini blunder, framing, dan hoaks juga cukup merugikan. Buzzer dapat merusak reputasi dan kredibilitas calon atau partai politik di mata publik dan mengurangi elektabilitasnya. Mereka juga bisa menimbulkan konflik atau permusuhan dengan pihak oposisi yang menjadi sasaran serangannya.
Ketiga, kampanye politik dengan jasa buzzer sudah tidak relevan dan kebutuhan masyarakat. Karena buzzer kini tidak dapat memberikan informasi yang mendalam, komprehensif, dan bermutu. Terutama informasi tentang visi, misi, program, dan kinerja calon atau partai politik.