Kembali terjadi, nakes memposting hal yang menyulut kontroversi. Tiga nakes dari Puskesmas Lambunu, Parigi Moutong dianggap mendiskriminasi pasien BPJS dengan umum. Dalam kontennya, ketiga nakes mengumpamakan pasien BPJS dikerjakan malas-malasan. Sedang pasien umum atau non-BPJS dispesialkan pelayanannya.
Netizen yang tahu geram melihat tingkah ketiga nakes. Netizen pun gercep menelusur konten salah satu nakes. Dari konten yang diposting jelas ada hal tidak etis juga dipertontonkan. Ramai-ramai netizen mem-bomb review Puskesmas ketiga nakes. Walau jelang sore, mereka akhirnya mengklarifikasi dan meminta maaf.
Beberapa kasus nir-etika postingan medsos juga pernah terjadi. Di bulan Juni tahun lalu, nakes nir-etika berjoget di depan ibu yang menunggu pecah ketuban demi konten TikTok. Nakes di Martapura OKU Timur Sumsel tahun lalu, malah live TikTok saat melakukan proses lahiran.
Bahkan, bukan hanya nakes yang melakukan pelanggaran netiket, tenaga medis pun sama. Di tahun 2021, seorang dokter muda dikecam karena dianggap senonoh mempraktikkan gerakan vaginal touche demi konten. Bahkan calon dokter yang kolabs bareng seorang influencer, caption video dan jogetnya dianggap merendahkan keluarga pasien.
Ada satu hal yang luput dari pelaku kasus di atas. Seolah sebelum memposting konten, mereka lupa berpikir. Mereka lupa berpikri disini berarti THINK (True, Helpful, Inspiring, Necessary, dan Kind). Konten sebaiknya faktual, membantu, menginspirasi, perlu, dan baik. Sesederhana itu.
Tapi dari kasus-kasus di atas, sepertinya membuat konten didorong beberapa faktor:
Pertama, demi engagement dari followers.
Ada tuntutan subtil dari followers agar akun populer memposting. Followers merasa menjadi lebih dekat sekaligus memiliki mereka. Bagi akun populer, minim posting bisa berarti kehilangan followers.
Kedua, demi sensasi atau kontroversi.