Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

ChatGPT, Bard, dan Blender, Memudahkan atau Memanjakan?

Diperbarui: 15 Februari 2023   02:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Existence oleh Tara Winstead (pexels.com)

Perang dari chatbot berbasis AI, algoritma, dan kegigihan tech company sudah dimulai. Microsoft dibalik OpenAI untuk membangun ChatGPT mempercantik Bing dengan inovasi. Google dengan chatbot Bard buru-buru dirilis. Tapi saat demo, Bard melakukan blunder. Blunder juga terjadi dengan chatbot Blender karya Meta, induk dari Facebook.

Saat ini, Bing dari Microsoft berada di atas angin dalam ranah mesin pencari. Edge browser milik Microsoft kini sudah terintegrasi dengan ChatGPT. Fitur seperti chat dengan chatbot bisa dilakukan alih-alih mencari di berbagai tautan. Fitur merangkum isi web atau dokumen juga disematkan untuk mengintisarikan insight. 

Konon akibat blunder saat demo Bard, saham Google pun terjun bebas. Saham Google anjlok sekitar 100 miliar USD beberapa hari setelah demo Bard. Sedang sampai tulisan ini dibuat, Meta belum menindaklanjuti eror dari chatbot Blender. Bahkan sampai saat ini juga, laman Blender masih dibatasi aksesnya.

Microsoft pun segera menyuntikan dana 10 milyar USD ke OpenAi untuk pengembangan lanjut ChatGPT. Inovasi yang segera terintegrasi dengan mesin pencari Edge bisa lebih luar biasa. Kabarnya, ChatGPT akan dataset yang lebih banyak dan algoritma hasil yang real-time.

Publik pun menunggu inovasi dari Alphabet dan Meta sebagai raksasa teknologi. Mereka tentu tidak mau kehilangan pengguna dan data. Kapitalisasi data , jejak pencarian, dan engagement users adalah denyut hidup raksasa teknologi ini. Yahoo bisa menjadi contoh riil kompetisi ini. Minim atau tanpa inovasi, mesin pencari bisa mati. 

Kemudahan akses dan hasil pencarian ada di tangan pengguna. Bisa mencari informasi lebih akurat dan tidak bias menghilangkan ragu. Fitur yang responsif dan mudah digunakan menjadi daya tarik lain. Bagi korporasi, mesin pencari macam ini menjadi lanskap micro-targeting yang menggiurkan.

Bagi akademisi dan pelajar, mesin pencari bukan sekadar jendela ilmu. ChatGPT menjadi asisten pribadi yang lebih ciamik daripada Google. Cukup ketik pertanyaan atau pertanyaan, tambah parameter, atur mood, dsb, 'karya ilmiah' pun tercipta. Bagi seniman, artis, linguis, copywriters, dll, ChatGPT mempersingkat waktu kerja dan berpikir.

Perilaku hidup penggunanya pun berubah. Saat akses informasi begitu cepat, mudah, dan akurat, malas menghinggapi. Beban kognitif untuk memahami, mengolah, dan merelevansi informasi digantikan mesin pencari. Informasi dan akses untuk mendapatkan barang atau jasa cukup satu klik.

Konsep 5W+1H bukan lagi sebuah proses interaksi dan investigasi. Chatbot sudah menjembatani interaksi dan investigasi kolaboratif milyaran pengguna Internet. Kerumitan berpikir kini telah menjadi hasil pencarian belaka. Karya dan karsa manusia bisa disimulasi chatbot berbasis kecerdasan buatan.

Kolaborasi kolektif membangun informasi dari pengguna di internet jelas dikomodifikasi. Raksasa teknologi menjadi perantara dari penyedia dan pencari informasi. Kesulitan mencari informasi menjadi lahan komersial dengan dalih kemudahan. Banyak orang tidak keberatan kemudahan ini. Tapi bagi beberapa, melihat ancaman krisis eksistensialisme manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline