Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Para Presiden Sosmed, Bukan Sekadar Pencitraan

Diperbarui: 31 Januari 2023   23:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mask oleh Anete Lusina (pexels.com)

Media sosial menjadi instrumen propaganda paling luar biasa. Sifatnya yang personal, non-stop, dan real-time menawarkan media propaganda paling efektif. Preferensi keyakinan, politik, hobi dsb., tidak menjadi hambatan. Karena demokratisasi diskusi dengan moderasi dan algoritma anti-echo chamber menjadi tugas penyedia platform medsos.

Ratusan juta akun media sosial di Indonesia bukan sekadar angka. Tetapi juga potensi surat suara untuk para Presiden medsos. Presiden medsos adalah mereka yang foto dan videonya selalu membonceng trending. Nama dan wajah mereka selalu menyertai tagar lucu sampai tragedi, tanpa empati.

Foto wajah senyum dan barisan pujian untuk Presiden sosmed terus menghiasi trending. Twitter menjadi arena bebas nebeng trending menyebar foto dan video Presiden sesuai komando. Dari permukaan, jelas pencitraan menjadi tujuan. Di antara jengah netizen ada makna terselip dari kampanye para Presiden sosmed ini.

Pertama, mengingatkan publik pada Presiden sosmed terus menerus. Konsep attention economy di medsos berarti netizen mudah lupa dan gampang teralihkan pada trending lain. Faktanya, fokus perhatian kita di medsos hanya 8,25 detik saja. Repetisi tiada henti menjadi kunci. Secara sadar netizen menganggap sampah visual. Tapi alam bawah sadar mensedimentasi citra mereka.

Kedua, mengotomatisasi ingatan kita secara sukarela. Walau nampak kabur makna ini, Presiden sosmed mengeksploitasi strategi ini. Foto dan video yang nebeng trending telah mengotomatisasi otak dan ingatan kepada citra mereka. Jika ada prestasi dari Presiden medsos booming, pikiran serta merta mengaitkan citra yang sering sekali kita temui di linimasa. Begitupun sebaliknya.

Ketiga, menjadi bahan obrolan subliminal dari trending yang lain. Segala trending memang sengaja 'dikotori' dengan citra digital Presiden medsos. Seolah mengutarakan dengan subtil, nama dan citra mereka jangan lupa untuk diobrolkan. Jika trending terkait si Capres, jelas terucap namanya. Tapi isu trending cukup diucapkan berbisik dalam pikiran bawah sadar saja.

Keempat, menjadi media eksperimen sosial. Makna dari aktivitas ini memang cukup teknis. Dimana sebuah trending belum tentu mendatangkan engagement yang efektif Misalnya trending kata kunci untuk K-Pop bisa jadi sangat segmented dan tidak rata sebaran audiensnya. Tapi kata kunci terkait asusila, giveaways, atau tragedi terkini bisa sebaliknya. 

Kelima, menjadi ladang rezeki netizen juga. Konon para Presiden sosmed memiliki pasukan digital bayarannya sendiri. Guna menghindari moderasi platform, obrolan organik jadi kunci. Di bawah satu komando via aplikasi chat, pasukan ini mendistribusikan caption di akun mereka. Ribuan tweet Presiden sosmed pun memenuhi trending, tanpa pandang bulu.

Keenam, menjadi petanda timpangnya relasi kuasa. Sebab dari poin ke lima, jelas ada ketimpangan kuasa. Jika tidak berduit dan berkuasa, ikut trending setiap hari jadi mustahil. Bahkan tagar trending isu sosial saja bisa ditumpangi foto dan video Presiden sosmed. Tagar yang didorong netizen pun sering ditumpangi. Kadang tanpa malu.

Ketujuh, membungkam Presiden sosmed lain. Petantang-petenteng seorang Presiden sosmed nimbrung trending setiap hari, menjadi cara meredupkan lawan. Semakin masif, intens, dan sistematis citra seorang Presiden sosmed ditampilkan, menciutkan nyali dan anggaran lawannya. Kuasai trending dan kalahkan semua.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline