Sudah beberapa waktu ini, ojol hampir selalu menjadi trending di sosmed. Ojol disorot sangat membantu. Sehingga juga sangat dibutuhkan. Sedang pekerja informal lain tidak atau minim sorotan. Sehingga banyak sektor yang merasa iri.
Berita terbaru isu ini misalnya, ojol diberikan donasi berupa pulsa. Program donasi ini dikoordinasi salah satu provider telekomunikasi terbesar. Bahkan MPR pun turut terlibat dalam gerakan ini. Besaran donasi yang ditawarkan mulai 5 ribu sampai 25 ribu Rupiah.
Namun, analisa saya berikut bukan berarti memojokkan ojol. Karena jasa dan upaya ojol pun patut diapresiasi di kala pandemi. Saat kebijakan social distancing dan kini PSBB diberlakukan di beberapa daerah. Ojol masih menggantung nasib dan hidup dari order konsumen.
Namun fokus artikel ini adalah sebab mengapa ada proporsi asimetris memperlakukan donasi untuk ojol. Setidaknya hal inilah yang dirasakan dan digemakan melalui trending sosmed oleh netizen.
Yang banyak kita rasakan adalah seolah ojek online atau ojol menjadi media darling. Jasa dan donasi untuk mereka mudah menjadi trending di linimasa. Setidaknya ada beberapa sebab historis dan paradoks yang coba saya analisa.
Pertama, secara historis aplikator ojol seperti Gojek menjadi besar karena sosial media. Masih kita ingat di tahun 2015, saat mitra Gojek bergaji besar. Kesuksesan para mitra awal Gojek segera menjadi konten di sosmed dan media. Seperti kisah seorang manager di Jakarta yang banting stir karir menjadi pengemudi gojek.
Gaji para mitra awal Gojek digitnya bukan saja 6 figur. Bahkan ada gaji diterima sampai 7 figur per bulan. Antrian menjadi mitra Gojek pun mengular. Banyak testimoni mitra Gojek yang begitu gempita bisa menjadi ojek namun gaji seperti pekerja kantoran.
Entah ini adalah kebijakan dan manuver dari Public Relation (PR) para aplikator. Jika benar, maka ada kerjasama eksklusif antara aplikator dan media, influencer, atau pembuat konten viral. Namun kini, manuver PR seperti ini meninggalkan ekses buruk [tidak terduga] saat pandemi.
Ketika media arus utama memprioritaskan linimasa sosmed dan trending sebagai berita. Maka tak heran, PR aplikator yang aktif rekam jejak digitalnya akan selalu bisa menarik perhatian. Di kala pandemi, interaksi ojol yang menjadi 'raja linimasa'. Entah itu jasa, keluhan, atau kisah sedih mitra ojol mudah direspon banyak pihak.
Ojol seperti anak emas.
Padahal banyak pengusaha kecil²an yg terpaksa harus tutup sampai Karyawannya di pulangkan.
Yang biasanya memiliki omset lumayan tiap bulannya, sekarang tidak berpenghasilan.
Yang memiliki usaha rental, sekarang beberapa mobil hanya terdiam di garasi. pic.twitter.com/nIZbcsRzK0
Salah satu cuitan polemik ojol anak emas donasi dan infografis yang beredar luas di Twitter
Kedua, pengemudi ojol adalah pengguna smartphone berdurasi dan berintensitas tinggi. Seorang mitra ojol, tidak akan pernah lepas dari smartphone. Seorang mitra ojol pernah bercerita kalau ia menghabiskan 4 smartphone selama menjadi mitra.
Saat usia smartphone rata-rata 4 tahun secara global. Penggunaan smartphone yang high abuse macam ini wajar mengurangi usia smartphone. Pola seperti ini juga dilakukan oleh para pecandu gim smartphone.