Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Ini Sebab Ojol Jadi Anak Emas Kala Pandemi

Diperbarui: 2 April 2022   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Light Bulbs oleh Colin Behrens - Foto: pixabay.com

Sudah beberapa waktu ini, ojol hampir selalu menjadi trending di sosmed. Ojol disorot sangat membantu. Sehingga juga sangat dibutuhkan. Sedang pekerja informal lain tidak atau minim sorotan. Sehingga banyak sektor yang merasa iri.

Berita terbaru isu ini misalnya, ojol diberikan donasi berupa pulsa. Program donasi ini dikoordinasi salah satu provider telekomunikasi terbesar. Bahkan MPR pun turut terlibat dalam gerakan ini. Besaran donasi yang ditawarkan mulai 5 ribu sampai 25 ribu Rupiah. 

Namun, analisa saya berikut bukan berarti memojokkan ojol. Karena jasa dan upaya ojol pun patut diapresiasi di kala pandemi. Saat kebijakan social distancing dan kini PSBB diberlakukan di beberapa daerah. Ojol masih menggantung nasib dan hidup dari order konsumen.

Namun fokus artikel ini adalah sebab mengapa ada proporsi asimetris memperlakukan donasi untuk ojol. Setidaknya hal inilah yang dirasakan dan digemakan melalui trending sosmed oleh netizen.

Yang banyak kita rasakan adalah seolah ojek online atau ojol menjadi media darling. Jasa dan donasi untuk mereka mudah menjadi trending di linimasa. Setidaknya ada beberapa sebab historis dan paradoks yang coba saya analisa.

Pertama, secara historis aplikator ojol seperti Gojek menjadi besar karena sosial media. Masih kita ingat di tahun 2015, saat mitra Gojek bergaji besar. Kesuksesan para mitra awal Gojek segera menjadi konten di sosmed dan media. Seperti kisah seorang manager di Jakarta yang banting stir karir menjadi pengemudi gojek.

Gaji para mitra awal Gojek digitnya bukan saja 6 figur. Bahkan ada gaji diterima sampai 7 figur per bulan. Antrian menjadi mitra Gojek pun mengular. Banyak testimoni mitra Gojek yang begitu gempita bisa menjadi ojek namun gaji seperti pekerja kantoran.

Entah ini adalah kebijakan dan manuver dari Public Relation (PR) para aplikator. Jika benar, maka ada kerjasama eksklusif antara aplikator dan media, influencer, atau pembuat konten viral. Namun kini, manuver PR seperti ini meninggalkan ekses buruk [tidak terduga] saat pandemi. 

Ketika media arus utama memprioritaskan linimasa sosmed dan trending sebagai berita. Maka tak heran, PR aplikator yang aktif rekam jejak digitalnya akan selalu bisa menarik perhatian. Di kala pandemi, interaksi ojol yang menjadi 'raja linimasa'. Entah itu jasa, keluhan, atau kisah sedih mitra ojol mudah direspon banyak pihak. 

Salah satu cuitan polemik ojol anak emas donasi dan infografis yang beredar luas di Twitter

Kedua, pengemudi ojol adalah pengguna smartphone berdurasi dan berintensitas tinggi. Seorang mitra ojol, tidak akan pernah lepas dari smartphone. Seorang mitra ojol pernah bercerita kalau ia menghabiskan 4 smartphone selama menjadi mitra. 

Saat usia smartphone rata-rata 4 tahun secara global. Penggunaan smartphone yang high abuse macam ini wajar mengurangi usia smartphone. Pola seperti ini juga dilakukan oleh para pecandu gim smartphone. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline