"What's in a name? that which we call a rose by any other name would smell as sweet." Romeo and Juliet - W. Shakespeare
Apalah arti sebuah nama. Bahwasanya tidak ada kata yang mampu menggantikan harumnya sekuntum mawar.
Ada salah kaprah publik memahami makna ucapan Shakespeare di atas. Dengan menganggap nama adalah hal sepele, karena dimaknai secara sepenggal.
Walau sebenarnya, apa yang Shakespeare maksud tidak ada istilah yang bisa mampu menggantikan harumnya mawar. Apakah kata 'ranwa' atau 'rawna' bisa 'seharum' kata mawar dalam pikiran kita?
Nama menjadi kian penting sebagai identitas performatif. Saat seorang bayi dinisbatkan nama oleh orang lain. Maka seumur hidup nama tersebut mengacu kepada si empunya nama.
Dan apa yang terjadi pada keriuhan Franda versus netizen bisa kita analogikan di atas. Nama sang anak Zylvechia yang digunakan akun seorang netizen dianggap meniru. Kabarnya Franda sampai mengirim pesan pribadi pada akun tersebut kalau nama anaknya tidak pantas ia sandang.
Franda merasa nama anaknya adalah 'hak cipta' personal. Dan tidak boleh ada anak/orang/akun lain yang menyerupai. Yang di dalam pikiran Franda, nama Zylvechia akan mengacu pada sang anak. Tidak ada yang lain.
Ada kemungkinan Franda tidak ingin nama anaknya 'pasaran'. Nanti di sekolah, di sosmed, mungkin di dunia tidak ada yang sama. Zylvechia hanya satu-satunya dan tidak mudah ditemui dimanapun.
Kalau begitu pemikirannya, nama adalah hak paten. Mirip dengan, maaf, merek dagang dan jasa. Pikiran kita akan selalu mengacu McD pada restoran cepat saji. Atau layanan mesin peramban Google yang secara tidak langsung mengacu pada 'internet'.
Jika ada nama produk/jasa yang serupa, maka akan terkena tindak perdata pelanggaran hak cipta. Nama yang sudah dipatenkan secara resmi tidak boleh ada lagi yang menyamakan. Apalagi dalam ranah marketing, nama barang/jasa akan menjadi merek dagang melekat.