Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Rekonsiliasi Rasa Polarisasi

Diperbarui: 24 April 2019   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Shake Hand Evil oleh Misk Buell - Ilustrasi: reddit.com

Wacana rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo patut kita ditunggu dan diapresiasi. Namun bagaimana jika nanti yang kita akan lihat malah polarisasi. Pemilu yang membelah publik menjadi kubu 01 dan 02 tidak akan luntur usai rekonsiliasi.

Kentalnya politik identitas. Gaduhnya linimasa media sosial dan efek penjara pola fikir ala post-truth. Akan berpotensi membuat jurang disparitas sosial dan gejolak kebencian selalu ada.

Walau kedua kubu saling berceloteh menggunakan akal sehat selama proses Pemilu berlangsung. Namun nyatanya dungu-mendungukan. Atau saling ejek dengan sebutan cebong atau kampret masih berlangsung.

Kentalnya politik identitas berupa keyakinan beragama sudah lama bergema di Pemilu Indonesia. Di Pemilu tahun 1955, PKI dan PNI selalu menuduh Masyumi hendak mendirikan negara Islam. Melalui kampanye terbuka dan surat kabar waktu itu, kampanye hitam menyudutkan Masyumi beredar di masyarakat.

Mundur ke Pemilu 2014, tuduhan-tuduhan tak berdasar tentang identitas agama juga bergaung. Melalui dua edisi tabloid Obor Rakyat, fitnah terhadap Jokowi sistematis beredar di banyak Ponpes di Jawa waktu itu. Pihak Kepolisian akhirnya melarang Obor Rakyat beredar dan Dewan Pers menyebut tabloid ini bukanlah produk jurnalistik.

Kembali di Pemilu 2019, identitas keagaaman dipolitisasi guna mendulang suara. Pengerahan massa pada berjilid-jilid aksi kuat menyimbolkan identitas keagamaan dan kampanye politik daripada aksi damai. 

Tokoh-tokoh agama yang sering dimunculkan, dikunjungi, dan diberikan panggung dilakukan kedua kubu Capres. Identitas agama mayoritas pun diperebutkan sekaligus dieksebisi sedemikian rupa di Pemilu 2019.  

Guna mendukung kentalnya identitas keagamaan saat Pemilu. Maka masing-masing simpatisan tiap kubu memperebutkan dominasi linimasa. Karena kedua kubu mesti meyakini bahwa moda kampanye dunia digital paling efektif, murah, sekaligus dahsyat dampaknya.

Ekses negatif kampanye digital mudah kita lihat. Misalnya penyebaran berita bohong yang begitu masif. Berita yang menyudutkan kedua pasang Capres ini tak kenal waktu. Bahkan tidak kenal siapa pembuatnya.

Ditambah portal berita digital yang (hiper)-partisan mengunggulkan salah satu pasang Capres. Tak jarang, mem-frame negatif Capres kubu lain. Berita yang dipotong, menonjolkan kalimat sensasional, dan tak jarang berisi disinformasi, menjadi konsumsi simpatisan.

Peran para politisi dengan akun sosmed-nya pun berperan mendorong kegaduhan yang terjadi. Baik itu politisi maupun timses, semua kabar yang menyudutkan Capres lawan diberitakan. Tapi tidak dibagikan jika ada berita yang mengorek sisi negatif Capres jagoan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline