Mengamati fenomena anak yang risih orangtuanya sendiri follow akunnya.
Di satu waktu tetiba ada nama bapak kita ada dalam notifikasi friend request di Facebook. Atau ibu mengabari via japri kita diminta mem-follback akun baru IG ibu. Apakah kamu panik? Canggung? Atau merasa dalam 'masalah' besar?
Tak dapat dipungkiri, kesenjangan digital antar generasi kita rasakan. Orangtua kita yang mungkin di atas 70 tahun baru saja kenal sosmed. Tetapi mereka begitu gandrung dengan sosmed. Dengan waktu luang karena pensiun. Waktu dengan smartphone pun bisa jadi lebih banyak dan intens.
Karena merasa terkoneksi kembali via sosmed dengan kawan, rekan kerja, atau saudara yang tak lama jumpa. Maka apa salahnya mem-follow akun anaknya sendiri.
Tidak atau ditunda approve friend request orangtua, anak akan merasa rikuh. Tidak di-follback pun, nanti bisa-bisa ibu cerewet bertanya kenapa.
Ada beberapa asumsi yang menjadi syak wasangka yang timbul di benak sang anak:
- Orangtua akan tahu jejak digital saya yang 'jelek dan aneh'
- Orangtua akan mengawasi tindak tanduk saya via sosmed saya
- Orangtua akan nimbrung komentar atau like posting saya
Sehingga tindakan kuratif dan preventif sang anak pun dilakukan:
- Anak akan menghapus postingan yang aneh, seronok, dan memalukan
- Anak akan tidak meng-approve friend request atau membuat akun sosmed baru
- Anak akan jarang untuk posting, walau sebelumnya sangat giat dan sering
Ada yang menarik dibalik fenomena kerisihan seorang anak di-follow akunnya oleh orangtua sendiri. Ada persepsi anak terhadap sosmed.
Pertama, sosmed sebagai dunia euforis. Dunia digital menjadi media hura-hura sesukanya. Anak merasa bebas berekspresi, berkata, dan berperilaku di sosmed. Kadang demi mencari pengakuan sosial (pansos) dilakukan dengan cara apapun.
Karena banyak akun demikian. Mengapa saya tidak bisa menjadi kompromi. Dibalik anonimitas berbagi apapun dan menjadi apapun bisa dilakukan di sosial media. Tak jarang malah merugikan dirinya sendiri.
Kedua, sosmed sebagai media alter ego. Akun sosmed adalah pribadi kedua buat anak. Apalagi para remaja yang dianggap labil dan mencari jati diri. Mereka bisa menjadi apa yang diinginkan. Dunia digital menyediakan ruang-ruang hiperrealitas ini.