Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Eufimisme Kebohongan

Diperbarui: 7 Februari 2019   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mask oleh Francesco Ungaro - Foto: pexels.com

Hoaks adalah kebohongan yang dijinakkan esensinya secara digital. Hoaks bukan lagi sebuah kebohongan belaka. Terma ini malah semakin digunakan propagandis untuk saling tuduh. 

Hoaks pun diorkestrasi untuk menciptakan kebingungan publik yang menginsiunasi pilihan abstain. Dan lebih parahnya, mereduksi kebohongan menjadi sebuah kebebasan berekspresi yang viral sesaat.

Kelindan makna hoaks, memang kian kusut. Seperti yang pernah saya tulis disini. Namun kini, hoaks yang berarti misinformasi dalam ruang lingkup digital malah luruh melesap esensi kebohongannya.

Hoaks kian lemah entitas kebohongannya dikarenakan propaganda berikut:

Alternative-truth. Hampir setiap orang kini memiliki otoritas kebenaran digital versi masing-masing, atau post-truth. Yang kini kita lihat media arus utama sudah disusupi unsur partisan. Apalagi yang jelas-jelas hiper-partisan. Maka media alternatif non-terverifikasi menjadi rujukan. 

Media alternatif ini hadir untuk menyuapi keyakinan personal mereka yang anti media arus utama. Dan mereka berhasil. Tanpa perlu verifikasi otoritas jurnalisme terkait. Media alternatif ini memiliki 'fansbase' tersendiri. 

Konsumen media alternatif ini pun merujuk kebenaran yang mereka yakini bukan hoaks. Karena apa saja yang secara digital tertulis sering dianggap benar. Sumber inilah yang menjadi kontra narasi kebenaran yang berasal dari media arus utama.

Hoaks pada propaganda alternative truth bergerak masif dan viral didongkrak akun bot. Psikologi kerumunan atau massa masih menjadi daya tarik. Semakin banyak social gesture, maka dianggap semakin valid sebuah informasi.

Fear, Uncertainty and Doubt. Hoaks bukan lagi sekadar merekayasa dan menyebar kebohongan. Namun membuat iklim ketakutan, ketidakpastian, dan keraguan. Hoaks yang dianggap sepele dan konsisten menumbuhkan benih FUD.

Saat banyak media yang tergerus kredibilitasnya. Juga saat media alternatif dianggap menyuburkan mindset post-truth. Maka publik yang berfikir terjebak dalam keragu-raguan dan hiper-skeptisisme. Siapakah yang harus dipercaya?

Hoaks bernuansa politis memang perlu diverifikasi. Namun yang hoaks bernuansa politis frekuensi kehadirannya tinggi. Saat verifikasi sebuah hoaks baru disebarkan. Sudah muncul hoaks lain. Banyak orang pun jenuh dan jengah akan hal ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline