Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Membongkar Mitos Dunia Digital, "New, Faster, and Simple Information Is Good"

Diperbarui: 26 Desember 2018   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cellphone and People - Foto: rawpixel.com

Berapa banyak dari kita yang begitu tahu informasi baru di WhatsApp grup langsung share. Karena WhatsApp grup memudahkan cepatnya informasi dibagikan. Tak jarang kita merasa informasi tersebut bermanfaat dan layak dibagikan. Apalagi saat share informasi tadi berupa berita kesehatan, politik, sampai agama. 

Namun, yang jarang sekali dilakukan adalah menelusur dan memvalidasi suatu informasi itu sendiri. Apakah penulis atau sumber informasi kredibel? Apakah ada afiliasi dan institusi terlibat dalam berita? Atau adakah kepentingan politis, ekonomi, atau sekadar sensasi dalam informasi tadi?

Menelusur informasi yang viral beredar pun membutuhkan ilmunya. Sehingga kebaruan, kecepatan, dan kemudahan informasi di dunia digital tidak membutakan kita atas kebenaran. Dan sudah barang tentu, tidak membuat kita tersesat menyebarkan mis/disinformasi.

Sayangnya, mitos informasi aktual, real-time dan langsung itu masih dianggap baik. Baik itu via sosmed atau grup chat, informasi beredar cepat dan luas. Informasi viral yang tak jarang masuk ke dalam pemberitaan media arus utama. Urusan informasi tersebut bermanfaat atau malah merugikan sering difikir belakangan.

Tara Brabazon dalam buku Digital Dieting: From Information Obesity to Intellectual Fitness (2012) melihat sebuah fenomena. Pendidikan dan pola fikir kita bergerak lambat, bertahap, dan tak jarang terbatas. Sedang mesin peramban Google bergerak cepat. 

Yang dimaksud Brabazon adalah. Google akan selalu dan pasti mengalahkan kemajuan pendidikan dan berfikir manusia dalam pemerolehan informasi. Sehingga, informasi yang tersaji via Google akan selalu dapat memenuhi keinginan dan 'kerakusan' kita akan informasi. Namun, jangan terkecoh melihat informasi sebagai pengetahuan.

Persebaran informasi kini cepat dan tak terbatas jarak, waktu, dan negara. Smartphone yang membuat penetrasi informasi kian personal dan real-time kadang bisa membawa ekses negatif.

Contoh nyatanya, berita bohong penculikan anak viral beredar via Facebook dan WhatsApp beberapa waktu lalu. Orangtua pun bergerak cepat dengan membagikan berita via Facebook/WhatsApp. 

Terlepas dari ternyata informasi penculikan kebanyakan hoaks atau rekayasa. Namun karena foto, narasi, dan sebaran berita ini begitu cepat, mudah, dan dianggap baru. Mungkin hampir setiap orangtua yang khawatir akan membagikan. Lalu memulai curiga pada orang baru dan bahkan sampai berbuat anarkis.

Dilansir dari detik.com, Ahmad Fauzi Muslih menjadi korban jiwa pengeroyokan di Kendal November lalu. Massa yang curiga atas gerak-gerik Muslih menduga ia hendak sebagai penculik anak.

Namun yang massa tidak tahu, Muslih adalah pengidap gangguan jiwa. Dan kasus ini mungkin satu diantara banyak kasus hoaks penculikan di Indonesia dan dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline