Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Tahun Baru dan "Personal Digital Resolution"

Diperbarui: 19 Desember 2018   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Social Media - Sumber Foto: pixabay.com

Akhir tahun 2018 segera menjelang. Selama 365 hari di 2018, hampir seluruh harinya dilalui bersama gawai dan sosial media. Dan banyak sekali drama dan kegaduhan yang kita lihat, tanggapi, dan mungkin ciptakan. Mungkin sudah saatnya kita melakukan Personal Digital Resolution (PDR).

PDR bukan sekadar membeli gawai baru. Karena tergoda persuasi iklan gawai terbaru di televisi. Atau mungkin merasa kurang cetar di sosmed sehingga tahun depan mulai merubah haluan. PDR lebih berfokus pada pola kita dengan dunia digital.

Dimulai dengan mindset kita pada gawai dan dunia digital.
Dunia digital, seperti sosial media yang kini kian menjadi bagian hidup manusia. Sehingga apa yang terjadi di sosmed, bisa saja muncul konflik di dunia nyata. Pun, apa yang kita selorohkan bebas hari ini. Bisa saja berakibat buruk di masa depan.

Dunia digital harus difahami menjadi bagian dari ertefak kebudayaan kontemporer kita. Mulai dari merubah kebiasaan bersosialisasi sampai mendisrupsi privasi, dunia digital memiliki sisi positif dan negatifnya. 

Usahakan perspektif atau mindset kita tidak terhanyut bebasnya dan karut marutnya dunia digital. Tetap fokus untuk menjadi manusia yang holistik yang tak lepas dari realitas dunia. Kita perlu bekerja, bersosialisasi, dan memberadakan diri di dunia nyata. Karena kita manusia, bukan akun sosial media semata.

Yang kedua adalah membatasi keterikatan kita pada gawai.
Gawai bukan perpanjangan dari tangan kita. Lepaslah gawai atau smartphone kita barang sebentar saja. Di tempat dan suasana dimana kita berkomunikasi dan menjadi manusia yang holistik.

Di meja makan, di tempat tidur, di sekolah, di tempat kerja, dsb. Saat sedang reuni teman SMP, saat makan malam bersama keluarga, saat hendak tidur selepas malam, dsb. Taruhlah gawai di tempat tak terlihat. Beri gawai kita silent mode. Atau buat janji diri sendiri akan melihat gawai setelah 1 jam.

Karena 10 detik saja kita melihat dan memandangi gawai di tempat dan situasi tadi. Pikiran kita terhanyut ke Menari Eiffel bersama foto selfie teman kita di Instagram. Angan kita pun melayang ingin liburan ke Raja Ampat usai melihat cerita teman dan keluarganya disana. 

Dan bisa jadi, setelah fikiran kita terbius ekstasi keindahan foto dan kisah di linimasa sosmed. Tubuh kita merasa enggan berada di tempat dan waktu menjemukan ini. Padahal kita sedang reuni bersama teman SMP. Atau mungkin, kita sedang berada dalam obrolan hangat makan malam keluarga.

Dan terakhir, menjadi pribadi yang terawat akal sehatnya di sosial media.
Tahun depan, ada baiknya kita mulai berfikir untuk menjadi bijak bersosmed. Tak perlu ikut debat kusir dengan netizen yang memang haus keributan. Atau terlalu reaktif pada posting berbau agama, politik, atau kesukuan.

Kita punya Google untuk mencari fakta atas berita hoaks yang berbau agama atau politik. Jari kita jangan malas menelusur fakta sebenarnya. Sedang men-stream YouTube saja bisa berjam-jam dan habis kuota bergiga-giga. Masa men-Google keywords dan melihat situs saja malasnya bukan main.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline