Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Paradoks Dunia Digital

Diperbarui: 9 Desember 2018   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Digital World - Ilustrasi: futurelab.assaabloy.com.

Interkoneksi yang dicetus Sir Tim Berners-Lee dengan internet di tahun 1989 kini menjadi sebuah paradoks. Tujuan mulia internet yang awalnya menghubungkan manusia, mempermudah akses informasi, dan membangun jaringan keilmuan. Kini menggurita menjadi senjata yang memakan tuannya sendiri.

Setidaknya ada tiga paradoks yang bisa saya tangkap dari dunia digital yang saat ini sudah dan sedang kita hadapi.

Dunia yang mencerdaskan tapi juga membuat bodoh. Setiap kita tentu bersyukur ada Google di genggaman kita. Hampir semua hal tersedia disini selain hari kematian kita dan kapan kiamat terjadi. Dari anak sekolah SD sampai peneliti di MIT Massachusetts mengetahui cara menggunakan mesin peramban. 

Namun bagi banyak orang, kadang informasi yang didapat malah menyesatkan. Informasi yang umumnya ada di halaman pertama relatif terdistorsi. Kadang juga sering sengaja dibuat oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. 

Seperti contoh profil Trump yang diberi gambar tak senonoh oleh beberapa pihak di laman Wikipedia. Kadang first page yang dihiasi hasil dari SEO (Search Engine Optimization), tak jarang berisi misinformasi. (Baca juga artikel saya tentang SEO)

Dunia yang mengkoneksi sekaligus mengekang. Pada setiap kita online, rekam digital (cookies) dari sebuah situs tertinggal. Dan dari banyak situs yang kita kunjungi, kita pun secara sukarela menyerahkan gambaran diri. Entah itu preferensi politik, akademis, hobi, sampai barang yang pernah dibeli.

Pada satu sisi, rekam digital ini memudahkan kita terkoneksi dengan hal serupa yang relevan. Istilahnya personalized search atau pencarian terpersonalisasi. Mesin peramban akan mengenali apa yang kita suka dengan membaca kita saat online. 

Namun di sisi lain, kita jadi enggan mencari alternatif perspektif dan preferensi lain dari apa yang kita suka dan percaya. Ada pola filter bubble atau perspektif bias akibat algoritma yang memantau dan mempelajari diri kita. Kita pun jatuh pada perangkap perspektif yang relatif homogen dan nyaman. (Baca artikel saya tentang filter bubble).

Internet Addiction by Tim Wehrle - Ilustrasi: timwehrle.deviantart.com

Dunia yang euforis dan egaliter namun juga penuh propaganda dan tak transparan. Kita sudah barang tentu merasa bebas dan sama di internet. Baik itu akun verified ala Twitter/Instagram atau akun baru. Semua bisa saling berteman, mengkritik, bahkan tak jarang saling merundung. Dibalik akun anomin memang kita merasa relatif lebih aman daripada harus akun asli.

Namun faktanya, semua yang kita unggah ke dunia digital akan bersifat publik atau umum. Mulai dari mengisi kuisioner sampai unggah foto/video. Maka pihak manapun dapat dan bisa saja menggunakannya. Dan hanya perusahaan teknologi seperti Google/Facebook yang kita percayakan semua data pribadi yang bersifat personal maupun tidak.

Kebocoran 50 juta data pengguna Facebook dicurigai membawa dampak politis pada Pemilu US tahun 2016. Konon, ribuan nomor telpon ber-WhatsApp digunakan untuk mem-broadcast propaganda Bolsonaro di Pemilu Brazil tahun 2017. Di Pemilu kita pun, sosmed masih jadi ajang tidak sehat para timses, simpatisan, dan buzzer menggiring opini pemilih.

Dampaknya, terjadi pelunturan nilai demokrasi akibat ilusi mayoritas via sosmed khususnya. Berita viral dan trending topik yang bermuatan politis kadang menjadi bahan berita media arus utama. Walau kadang informasi tadi cenderung provokatif, reaktif, bahkan fiktif. (Baca artikel saya kuasa bot)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline