Filter bubble sebagai sebuah "penjara algoritma" dunia digital tidak selamanya negatif. Sejak Jeff Bezos melihat potensi filter bubble untuk toko buku onlinenya di tahun 1994. Filter bubble mulai berkembang pesat dan rumit sejak saat itu.
Namun, istilah filter bubble disebut personalisasi penelusuran (personalized search) waktu itu. Istilah filter bubble dipopulerkan oleh Eli Pariser di tahun 2011. Terutama dari buku canon Pariser Filter Bubble: What the Internet is Hiding From Us menjadi referensi jurnalis dan akademis sampai saat ini.
Personalisasi personal ini menjadi basis baik bagi platform sosmed dan mesin peramban. Informasi yang relevan dan relatif homogen disajikan kepada pengguna. Parameter informasi yang digunakan seperti cookies (jejak penelusuran), gerak kursor mouse, lokasi, dan trending didapat dari pengguna saat online.
Namun seiring pesatnya teknis algoritma dalam menelusur, mempelajari, dan memprediksi kita via big data. Algoritma filter bubble kini memiliki parameter yang cukup rumit. Mulai dari preferensi politik, agama dan gender. Bahkan sampai gerak retina mata via webcam atau suara via microphone smartphone kita.
Setidaknya ada 3 aspek positif yang bisa kita rasakan dari filter bubble ini. Baik itu saat menelusuri informasi yang kita cari. Ataupun berinteraksi via sosial media.
Pertama, filter bubble membuat kita tidak tersesat di belantara informasi. Menelusur sebuah informasi dengan ribuan di antaranya kurang relevan dianggap membuang waktu, tenaga, dan kuota. Dan filter bubble ini realitasnya menyelamatkan kita.
Misalkan kita mengetik kata "Mesir" dalam mesin peramban personal kita. Maka yang muncul dalam hasil biasanya sesuai dengan rekam jejak digital kita. Jika kebetulan kita menyukai traveling. Maka yang hasil pencarian yang muncul misalnya seperti harga tiket pesawat PP termurah, objek wisata, akomodasi terbaik, dll.
Namun bagi seseorang yang jejak digital berfokus tentang berita politik. Maka yang hasil ketik kata "Mesir" yang muncul di Google bisa jadi tentang Tahrir Square, korupsi Hosni Mubarok, dan sebagainya. Maka jika orang ini ingin berwisata di Mesir. Maka relevansi pencarian pun patut menyertakan kata "Wisata Mesir".
Kedua, filter bubble memfasilitasi insting komunal kita. Terutama di sosial media, kita akan lebih cenderung mencari persamaan dari ribuan akun teman/followers. Menjadi bagian atau terlibat dalam komunitas yang asing, kontra, dan baru bisa memunculkan konflik pribadi atau sosial.
Seorang anak perempuan instingnya akan mengatakan untuk berkumpul dan bermain dengan teman perempuan. Selain menghindari perundungan dari anak lelaki walau sepermainan. Kebiasaan dan berperilaku antara anak perempuan dan laki-laki umumnya dipahami berbeda secara kultural.
Filter bubble ini menggunakan konsep sederhana ini dalam hal informasi yang disajikan pada kita. Dan kita pun cenderung menerima dan memaklumi konsep algoritma ini sebagai bagian dunia digital. Wajar jika linimasa kita jarang atau tidak pernah muncul posting yang kurang kita sukai.
Ketiga, filter bubble menjadi asisten kita di dunia digital. Mulai dari menyajikan informasi yang relevan dan relatif homogen. Lalu membuat kita merasa dunia digital begitu familiar seperti dunia nyata. Algoritma filter bubble bisa memberi kesibukan dan rekomendasi yang bahkan kita tidak perkirakan.