Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Mengenal Lebih Dekat "Digital Well-Being"

Diperbarui: 29 November 2018   17:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Digital Literacy - Ilustrasi: scienceblog.cut-e.com

Kehidupan digital kini tiada terpisah dari kehidupan nyata. Dari kebutuhan sandang, pangan, papan sampai hak beropini difasilitasi dunia digital. Tak jarang pula banyak orang yang merasa penat, stress sampai kecanduan pada dunia digital.

Dikutip dari commonsensemedia.org, digital well-being (DWB) berfokus pada ketiga hal berikut. 

  • Perusahaan teknologi yang selayaknya mendesain aplikasi yang minim sisi adiksi. Menjunjung tinggi nilai sosial daripada keuntungan finansial. Dan mendukung riset tentang dampak teknologi.
  • Orangtua dan pendidik yang melek pada dampak baik dan buruk teknologi. Serta mendukung perilaku media digital yang baik.
  • Publik yang sadar dan faham informasi yang baik dan kredibel di dunia digital. Dan mendorong mereka untuk menyadari perspektif bias yang mungkin muncul di dunia maya.

Secara praktikal, DWB berarti juga menyelaraskan kehidupan di dunia nyata dengan maya. Penggunaan gawai dan akses ke dunia digital pun diatur dengan baik. Hal ini agar tidak terjadi penggandaan tugas, distorsi fokus, gejala psikis, sampai masalah kesehatan akibat dunia digital.

Semua informasi yang dianggap baik dan bermanfaat dari dunia nyata atau digital bisa disebarkan di dunia maya/nyata. Dan sebaliknya, informasi buruk dan tak bermanfaat lebih baik disetop persebarannya dan dilaporkan kepada platform dimana informasi tadi beredar.

Digital Addiction - Ilustrasi: indiaexpress.com

Namun pada prakteknya, harmonisasi ini kadang menemui beberapa hambatan berikut.

Pertama, kurangnya wacana dan implementasi pendidikan dunia digital. Walau wacana literasi digital sudah beredar luas via sosial media. Namun implementasi literasi digital dianggap kurang masih kurang optimal.

Kedua, publik yang masih terlena sisi euforis dunia digital. Patut diakui, dari 134 juta pengguna internet di Indonesia. Mungkin kebanyakan menganggap dunia digital sebagai tempat hura-hura atau bebas berekspresi.

Ketiga, serbuan dunia digital di pasar Indonesia yang begitu masif. Dengan lebih dari 270 juta penduduk, Indonesia masih menjadi pasar baik e-commerce maupun media tumbuhnya aplikasi startup seperti ride-sharing, fintech, atau gim daring.

Berikut adalah tips-tips yang bisa menjadikan kita individu yang harmonis antara dunia nyata-digital.

  • Mengatur screen time baik pribadi maupun keluarga. Membatasi interaksi dengan gawai dan sosmed dilakukan dengan parameter durasi, frekuensi, jenis aplikasi yang dibuka dan tempat membuka gawai. Membuka gawai di kamar tidur mungkin bukan sebuah pilihan baik.
  • Mengelola pola interkasi digital, baik grup chat, sosmed, korespondensi surel, maupun pengelolaan situs. Komunikasi dunia nyata harus tetap menjadi prioritas bersosialisasi.
  • Memahami bahwa dunia digital tidak sepenuhnya positif, pun juga negatif. Mengoptimalisasi sisi positif dunia digital untuk kehidupan pribadi, sosial, dan ekonomi wajib dilakukan.
  • Menyaring keluar-masuk data pribadi dengan baik. Solusinya antara lain. Meng-update password di semua platform secara berkala. Membatasi log-in di gawai/komputer umum/orang lain. Mengunduh mesin peramban yang menjamin privacy. Sampai membuat pod pribadi untuk data pribadi kita.

Menjadi individu dengan keharmonisan kehidupan digital (DWB) adalah tantangan sekaligus kebermanfaatan. Saat batas-batas realitas kehidupan dunia nyata dan dunia digital kian melebur. Menyemibangkan kedua dunia menjadi pilihan yang relatif lebih baik.

Salam,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline