Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Membahas Fenomena "Jajan Pulsa"

Diperbarui: 18 November 2018   03:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

No Connetion - Ilustrasi: talkofweb.com

Zaman saya memakai HP Nokia 3315 dulu. Membeli pulsa bukan sebuah aktifitas 'jajan'. Tetapi mata anggaran yang cukup mahal. HP sudah berisi pulsa Rp. 10.000 saja sudah sangat bersyukur. Karena tak jarang, membeli pulsa Rp. 5.000 harus rela mengambil pos anggaran yang lain.

Ditambah lagi berkirim SMS dengan harga Rp. 350. Jari dan fikiran tak henti mengecek sisa pulsa. Untuk menelepon via HP diusahakan jangan. Selain mahal karena dihitung perdetik. Untuk menelepon, saya lebih memilih ke Wartel yang dulu sempat menjamur dimana-mana.

Jadi buat saya, jaman dulu tidak ada yang namanya 'jajan pulsa'. Yang ada adalah membeli pulsa. Layaknya makna saat membeli pakaian. Karena tidak setiap hari saya 'jajan' pakaian.

Dengan jumlah pengguna aktif internet aktif mencapai 123 juta jiwa. Indonesia menempati urutan ke 6 dalam jumlah penduduk yang sudah terkoneksi internet. Kita tepat berada di bawah Jepang dengan hampir 100 juta lebih rakyatnya terkoneksi internet.

Sehingga di era digital, pulsa mungkin sudah laik dicap sebagai jajanan. Dan pulsa yang dibeli biasanya segera diubah menjadi paket kuota internet. Karena dengan koneksi internet dari pesan singkat, telepon, video call, sampai token game bisa didapat.

Seperti dilansir viva.co.id yang mengabarkan video anak yang merengek meminta kuota internet. Kepada sang ibu, anaknya begitu tantrum memohon kuota internet. Video ini sempat viral via sosmed. 

Ramai-ramai netizen menyayangkan fenomena ini. Salah satu netizen sampai berkomentar jajan pulsa lebih mengenyangkan daripada jajan (makanan).

Kita pun hendaknya patut mengkritisi fenomena ini. Mengapa pulsa (kuota internet) sudah menjadi jajanan? Sedang pulsa pun relatif tidak murah. Mungkin berikut beberapa alasannya.

Pertama, masyarakat kita yang kian terkoneksi membuat kita sulit melepaskan diri. Informasi publik maupun personal begitu cepat lalulintasnya. Di sosmed, kita selalu ingin tahu trending topic viral apa yang sedang terjadi. Pun, dengan chat personal via WhatsApp misalnya, kita dibuat menunggu dan terus berusaha me-reply.

Fear of Missing Out (FoMO) menjadi epidemi digital. Ketertinggalan informasi teranyar dapat berarti pengucilan di sosmed/grup chat. Sehingga lahir perasaan keterasingan dari obrolan/diskusi. Pun, kecemasan kadang muncul. 

Disadari atau tidak FoMO memaksa kita untuk selalu terkoneksi secara digital. Tidak adanya kuota internet membuat kecemasan. Baik itu tentang update berita politik, gosip artis, sampai menjaga leaderboard sebuah gim. Interkoneksi kadang menjadi adiksi yang tak kita sadari.

Smartphone Addiction - Ilustrasi: toonpool.com

Kedua, karena masif dan beragamnya penawaran beragam paket internet. Mulai dari iklan provider dengan jaringan super cepat, kuota besar, sampai jangka waktu unlimited membujuk rayu hati dan fikiran kita.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline