Perang dunia maya sudah dimulai di linimasa sosmed US. Opini publik via sosmed akan berpengaruh pada mid-term election atau Pileg dan Pilkada-nya publik US. Hal serupa terjadi saat Pilpres US di tahun 2016. Dimana diindikasi kemenangan Trump berkat dukungan linimasa yang dikuasai pihak asing.
Facebook dan Twitter pun bersiaga 24/7 di War Room. Memang istilahnya War Room identik dengan konflik dan kegaduhan. Karena misi utama War Room tak lain adalah mengkondusifkan linimasa mereka dari penggiringan opini, hate speech dan hoax saat Pemilu.
Saat ini, War Room Facebook aktif mengawasi Pemilu di banyak negara. War Room Facebook dinilai sebagai langkah proaktif mencegah preseden buruk pada linimasa. Dan mencegah 'kelalaian' saat Pilpres US tahun 2016 tidak terulang kembali.
Dipetik dari npr.org, unit War Room Facebook berisi 20 staf. Unit ini diisi oleh data engineers, data scientist, dan operation specialist. Sedang 300 orang lain memonitor unit ini sebagai bagian besar dari kinerja Facebook.
Di dalam War Room Facebook, terdapat 16 layar besar. Dengan dashboard berisi grafik dan statistik khusus yang memantau gerakan trend linimasa. Jika kabar bohong menjadi viral. Staf dari War Room dapat menghentikan posting dan trend yang terjadi.
Sedang Twitter memiliki jenis War Room yang cukup berbeda. Menurut Del Harvey, Head of Trust and Security Twitter, mereka bekerja berdampingan dengan beberapa pihak. Saat mid-term election US, Twitter merangkul US Homeland Security Department.
Saat inipun, Twitter memerangi sebaran hate speech dan hoax soal Pemilu di beragam tempat. Dibantu ratusan orang di beragam lokasi, Twitter mengawasi linimasanya dengan seksama dan real-time.
Namun, apakah War Room versi Facebook atau Twitter efektif?
Menurut riset FireEye, sebuah perusahaan cybersecurity, mendapati fenomena ini belum seberapa. Yang dilihat dan diperangi hanyalah 3%-5% dari akun penebar kebencian dan kebohongan di linimasa. Para aktor kejahatan siber seperti ini, mencari langkah lebih maju daripada penangangan yang dilakukan Facebook.
Pada bulan Agustus-Oktober Twitter menghapus 10.000 akun hyper-partisan Demokrat. Riset dari Oxford pun mendapati berita bohong dari kubu sayap kanan dan liberal lebih cepat viral di Twitter. Sedang berita faktual dari sumber yang ada tidak begitu diperhatikan users. Dan cara Twitter memfilter tweet buruk pun memiliki margin error yang besar, ungkap Yoel Roth, Head of Site Integrity Twitter.
Efektif atau tidaknya menurut saya pribadi bukan menjadi persoalan. Karena begitu masifnya otomatisasi bot dalam bisnis kebencian dunia maya. War Room bisa menjadi indikasi berikut: