Setelah hiruk pikuk kebohongan Ratna Sarumpaet (RS), publik terhenyak sesaat. Seolah baru terbangun, kita seolah baru sadar kalau hoaks itu nyata adanya. Jika selama ini hoaks cenderung berbentuk narasi deskripsi di linimasa semata. Pengungkapannya (debunk) pun cenderung rumit dan penuh link yang 'malas' diklik.
Kebohongan ala RS ini berbeda. Kejadian ini ramai disorot media dan netizen Indonesia. Seolah hoaks RS menjadi the tip of iceberg dari banyaknya hoaks di dunia maya. Kebohongan RS, yang termasuk hoaks politik, merupakan satu diantara banyaknya jenis hoaks di Indonesia.
Persebaran hoaks RS seolah serempak dan dikomandoi tanpa perlu mencari kebenaran faktanya dahulu.
Menurut laporan pemetaan hoaks di bulan Juli-September 2018 oleh Mafindo. Disinformasi (misleading content) masih tinggi di tiga bulan yaitu 154 kali. Sedang hoaks (fake news) ada di urutan kedua dengan frekuensi 72 kali selama 3 bulan.
Dari total 230 hoaks dalam 3 bulan, hoaks berkonten politik cukup tinggi, yaitu 135 kali. Baik hoaks dan disinformasi, konten politik masih banyak memenuhi linimasa Facebook (110 buah). Dan umumnya, konten hoaks politik ini berupa narasi plus foto (116 buah).
Dari kasus RS, setidaknya ada 7 indikator yang membuat kita tetiba tersadar hoaks dan bahayanya.
Pertama, karena pelakunya yang mengakui ia berbohong. Apalagi pembuat kebohongan tadi figur yang begitu vokal di sosmed. Disini saya tidak menyoroti penyebar hoaks RS via sosmed. Tetapi lebih kepada manipulator hoaks, yaitu RS.
Andai kata kebohohongan RS soal pengeroyokan tadi cukup di lingkup keluarga. Bisa jadi kebohongan ini tidak difabrikasi secara politis oleh koalisi kepartaian RS. Baca artikel saya: Kasus RS dan Analogi "The Onion Ring"
Kedua, hoaks politik masih menjadi primadona konsumsi media dan netizen. Dengan suasana Pemilu 2019 yang kental saat ini. Baik kubu opisisi dan petahana akan saling serang dan menjatuhkan citra. Semua isu bisa ditunggangi selama ada narasi yang dicocok-cocokkan.
Apalagi sebaran hoaks via sosmed yang langsung dan personal. Membuat propaganda echo chamber kian mumpuni di lingkaran simpatisan salah satu kubu politik saat Pemilu. Situasi ini dibentuk dan dipertahankan sejak 2014 lalu.
Ketiga, ternyata hoaks itu sistematis dan terstruktur. Kebohongan yang menjadi media propaganda ekonomis atau politis wajib terstruktur dan sistematis. Setiap personal dalam lingkar kuasa dan pengaruh memiliki peran yang tidak terlepas satu sama lain.